Komitmen Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Merkuri dari PLTU Batubara

Senin, 20 Maret 2017 - Dibaca 4502 kali

Emisi merkuri dari pembangkit listrik menjadi semakin diperhatikan terutama dengan ditandatanganinya Konvensi Minamata oleh Pemerintah Indonesia di tahun 2013. Workshop "Hg Emissions from the Coal-fired Power Sector in Indonesia" yang diselenggarakan di Ditjen Ketenagalistrikan, Senin ini (20/3), merupakan salah satu bentuk pemenuhan kewajiban Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan Konvensi Minamata.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Tuti Hendrawati Mintarsih dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ia menyampaikan tujuan dari workshop ini adalah untuk melakukan pengumpulan informasi terkait konsumsi batubara untuk pembangkit listrik dan melakukan analisa kandungan merkuri dari batubara di PLTU tertentu.

Tuti menyampaikan pendapat para ahli dan hasil penelitian yang membuktikan bahwa merkuri adalah senyawa kimia yang berbahaya dan beracun. Berdasarkan data dari the United Nations Environment Programme (UNEP) pada 2013, diperkirakan lebih dari 20% (sekitar 400 metric tons per tahun) dari global antropogenik emisi merkuri pada tahun 2010 berasal dari pembangkit listrik berbahan baku batubara.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara masih menjadi andalan untuk menopang sistem ketenagalistrikan Indonesia, dengan alasan harga beli tenaga listrik PLTU batubara masih paling murah. Selain itu, dibandingkan dengan energi primer lainnya seperti minyak bumi, cadangan batubara di Indonesia tergolong besar yakni 29,48 milyar ton. Sejalan dengan semakin banyak PLTU batubara yang akan beroperasi, maka akan menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup.

"Kita tidak ingin pembangunannya maju tapi lingkungannya tercemar," Tuti mengungkapkan.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman, dalam sambutannya yang disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Alihuddin Sitompul, "Kita perlu pikirkan langkah-langkah dan tata cara bagaimana mendapatkan manfaat yang baik tapi menghindari resiko untuk lingkungan dan kesehatan."

Pada subsektor ketenagalistrikan, Alihuddin menjelaskan, penurunan emisi merkuri dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: 1) memasang Instalasi Sistem Pengendalian Pencemaran Udara pada seluruh PLTU batubara di Indonesia, seperti Electrostatic Precipitator (ESP) dan Fabric Filters; 2) menerapkan teknologi Clean Coal Technology seperti teknologi boiler super critical dan ultra-super critical yang dapat mengurangi lepasan emisi gas buang, termasuk merkuri.

Guna mendapatkan data terkait penggunaan batubara dan emisi merkuri yang ditimbulkannya, maka KLHK bekerjasama dengan UNEP dan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan pada tahun ini melakukan kegiatan inventarisasi emisi merkuri yang diakibatkan dari kegiatan PLTU.

"Sesungguhnya penanganan merkuri di Indonesia merupakan bentuk nyata dari komitmen yang tinggi terhadap perlindungan masyarakat dan lingkungan global dari dampak negatif merkuri," Tuti menjelaskan. Untuk memastikan suksesnya penanganan merkuri di Indonesia, Tuti mengharapkan komitmen dukungan dan keterlibatan penuh pemerintah daerah setempat serta pembangkit listrik yang terdapat di seluruh Indonesia. (AMH)