Dukungan Pemerintah Untuk Menggairahkan Investasi di Sektor Kelistrikan dan EBT

Senin, 27 Maret 2017 - Dibaca 2968 kali

JAKARTA - Peluang Indonesia untuk terus mengembangkan potensi penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih terbuka lebar, karena sumber daya EBT di Indonesia masih berlimpah dan tersebar di seluruh wilayah tanah air. Potensi EBT di Indonesia sebesar 400 GW, baru dimanfaatkan sekitar 8.8 GW atau 2% dari potensi yang ada. Selain itu, Pemerintah juga terus mengupayakan membuat regulasi yang bisa memaksimalkan penggunaan EBT yang tersebar di Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), prioritas pengembangan energi nasional didasarkan pada prinsip memaksimalkan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian.

Pada tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengalokasikan anggaran lebih dari Rp. 1 Triliun untuk pengembangan EBT antara lain untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan penyediaan energi skala kecil di daerah. Target di sektor EBT tahun 2017 ini diantaranya penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) sebesar 215 MW, PLT Bioenergi (PLTB) sebesar 314 MW, PLTS dan PLTMH serta peningkatan target produksi BBN menjadi 4.6 juta KL.

Kementerian ESDM sebagai lembaga Negara yang menaungi pelaksanaan teknis sektor Energi termasuk listrik dan EBT, juga telah menerbitkan tiga regulasi yang mendukung peningkatan penggunaan EBT dan juga mendukung ketersediaan ketenagalistrikan, yakni Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik, Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pembangkit Listrik dan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Melalui Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 ini ditetapkan bahwa semua pembangkit listrik yang telah habis Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL)nya akan menjadi milik negara. Semua Power Purchase Agreement (PPA) ditanda tangani setelah aturan ini berlaku, akan menggunakan skema Build, Own, Operate, Transfer (BOOT). "Sebelum Permen ini berlaku, modelnya (kontrak PPA) Build, Own, Operate (BOO), pengembang berhak tidak transfer ke PLN. Tapi sesuai putusan MK, maka di akhir masa kontrak sekarang harus ditransfer, semua jenis kontrak harus BOOT," jelas Dirjen ketenagalistrikan Jarman saat ditemui beberapa hari lalu. Hal ini dilakukan untuk menjaga keandalan dan efisiensi di sektor ketenagalistrikan, sehingga pembangkit dijadikan aset negara setelah kontraknya habis supaya tidak dikonversi.

Sedangkan untuk Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2017 mengatur sisi teknis dan harga gas untuk pembangkit listrik yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan pasokan gas dengan harga yang wajar dan kompetititf. Semangat dalam Permen ini sesuai dengan arahan Presiden RI Joko Widodo kepada Kementerian ESDM untuk memprioritaskan penggunaaan gas untuk pembangkit listrik sehingga harganya lebih efisien. "Saya perintahkan kepada Menteri ESDM agar gas untuk pembangkit listrik seperti ini diberikan prioritas, jadi harganya bisa lebih efisien", tegas Presiden Joko Widodo pada acara Peresmian Proyek Infrastruktur Ketenagalistrikan di Kalimantan Barat.

Selain Permen yang mendukung peningkatan Kelistrikan, Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 yang telah diterbitkan pada tanggal 27 Januari 2017 juga akan mendukung pengoptimalan sumber EBT. Permen ini mendorong terciptanya teknologi-teknologi baru dari para pengembang swasta EBT dalam pemanfaatan sumber EBT. Regulasi ini juga mendorong PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP) untuk meningkatkan efisiensi agar bisa memproduksi listrik dengan harga rendah yang ujungnya tidak membebani rakyat.

Permen ESDM No. 12 tahun 2017 juga mengatur patokan harga maksimum untuk listrik dari sumber EBT seperti tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi. Sebagi contoh, harga listrik dari PLTB dan PLTS ditetapkan paling tinggi 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan di daerah tempat beroperasinya pembangkit listrik. Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM, Sujatmiko menjelaskan bahwa produksi listrik dengan biaya lebih rendah akan pula menurunkan BPP. "Kementerian ESDM berharap Permen 12/2017 dapat mendorong pengembangan teknologi listrik EBT sekaligus menurunkan harga listrik EBT dan penurunan BPP di Indonesia, sehingga harga listrik menjadi lebih berkeadilan", jelas Sujatmiko.

Saat ini ada kecenderungan penurunan tarif listrik dari EBT di negara-negara lain. Sebut saja misalnya harga listrik yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di belahan Eropa berkisar USD 6 sen per kWh. Yang juga tak kalah mencengangkan adalah evolusi harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), mulai dari sekitar USD 3 sen per kWh di Persatuan Emirat Arab, hingga sebesar USD 9 sen per kWh di Kamboja yang negaranya berdekatan dengan Indonesia.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman saat ditemui dalam diskusi di Jakarta belum lama ini mengatakan bahwa harga PLTS di Kamboja hanya sebesar USD 9 sen per kWh. Sementara di Indonesia harganya bisa mencapai 15 sen per kWh. "PLTS berkapasitas 10 MW itu dibangun oleh Kamboja di daerah perbatasan dengan Vietnam. Lokasinya terpencil, infrastrukturnya belum begitu bagus. Tapi listrik dari PLTS tetap bisa murah. Saya kaget juga. Masak Kamboja saja bisa, kita enggak bisa?", ujar Jarman.

Senada dengan tarif listrik EBT yang optimis mengalami penurunan, Perusahaan Siemens bersama Duta Besar Jerman untuk Indonesia pada saat pertemuan dengan Wakil Menteri ESDM, tanggal 1 Februari 2017, sempat menyatakan bahwa invetasi di wilayah Indonesia Timur atau wilayah dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik setempat lebih besar dari BPP Nasional, masih menarik. Mereka akan melakukan kajian, penjajakan dan memahami terkait kebijakan EBT yang diterapkan ini. Selain itu, pada 17 Februari 2017 juga telah ditandatangani MoU antara Menteri ESDM dengan Menteri Kebijakan dan Energi Swedia dalam rangka mendukung pengembangan EBT.

Selain PT. Siemens, perusahaan swasta lainnya seperti PT Pindad (Persero) sebagai perusahaan yang juga memiliki kapabilitas untuk pengembangan industri EBT, juga menyatakan sanggup mendukung pembangunan PLTS dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB) kapasitas hingga 10 MW di Timur Indonesia, terutama di Papua dan NTT. PT. Rekayasa Industri sebagai perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) nasional juga menyatakan dukungannya dalam pemanfaatan EBT di Indonesia yakni dengan membangun 14 Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP), dari total 17 pembangkit yang dibangun dan beroperasi dalam 20 tahun terakhir.

Tercatat setidaknya ada 13 Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) antara PT. PLN (Persero) dengan pengembang EBT yang telah ditandatangani sebelum diterbitkannya Permen ESDM No. 12/2017 yang harga jualnya masih dibawah harga sebagaimana Permen ESDM tersebut. 13 PJBL tersebut untuk pembangkit listrik EBT yang terletak di 6 wilayah yaitu Sulawesi Selatan-Barat; Sulawesi Utara-Tengah-Gorontalo; Sumatera Utara; Aceh; Nusa Tenggara Timur; dan Bangka Belitung.

Artinya ketiga Permen ESDM ini sangat aplikatif untuk diterapkan dalam rangka peningkatan kelistrikan dan pengembangan EBT yang efisien. (BAM)

Bagikan Ini!