Workshop Peningkatan Kapasitas Mengenai Pemahaman Aksi Mitigasi Gas Rumah Kaca Khususnya Sub Bidang Ketenagalistrikan

Friday, 3 May 2019 - Dibaca 1623 kali

Penting bagi perusahaan pembangkit listrik untuk memahami pelaksanaan aksi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya di subbidang ketenagalistrikan. Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Ketenagalistrikan Wanhar menekankan hal tersebut dalam pembukaan Workshop Peningkatan Kapasitas Mengenai Pemahaman Aksi Mitigasi Gas Rumah Kaca, Jumat (3/5/2019), di Ritz Carlton Jakarta.

Selain meningkatkan pemahaman perusahaan mengenai aksi mitigasi emisi GRK, workshop ini juga dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan pedoman penghitungan dan pelaporan aksi mitigasi emisi GRK subbidang ketenagalistrikan. Workshop ini merupakan kerja sama antara Ditjen Ketengalistrikan dengan USAID-ICED II (Indonesia Clean Energy Development II) dan UNDP-MTRE3 (Market Transformation for Renewable Energy and Energy Efficiency).

Untuk menanggulangi permasalahan perubahan iklim, pada Konferensi Perubahan Iklim ke-21 di Paris, Pemerintah Indonesia turut serta menandatangani Persetujuan Paris (Paris Agreement). Pada saat pelaksanaan konferensi tersebut, Pemerintah Indonesia memperbarui komitmen untuk menurunkan emisi GRK dari yang semula 26% di bawah tingkat Business as Usual pada tahun 2020 menjadi 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 41% pada tahun 2030 dengan bantuan internasional.

"Untuk mendukung target penurunan emisi GRK pada subbidang Ketenagalistrikan, di dalam RUPTL PT PLN (Persero) tahun 2019-2028 telah ditargetkan penurunan emisi GRK antara lain dengan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), pengalihan bahan bakar (fuel switching) pada pembangkit listrik serta penggunaan teknologi rendah karbon dan efisien," kata Wanhar.

Berdasarkan RUPTL tersebut, pertumbuhan kebutuhan listrik diproyeksikan sebesar 6,42% dan sampai dengan tahun 2028 akan terdapat penambahan pembangkit listrik dengan total kapasitas sebesar 56 GW. Mayoritas bauran energi pembangkit listrik untuk batubara sebesar 54,6% dan diikuti dengan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23,0%.

Namun demikian, pembangunan PLTU Batubara direncanakan akan menggunakan teknologi High Efficiency Low Emission (HELE) atau yang lebih dikenal dengan Clean Coal Technology (CCT) seperti teknologi boiler super critical dan ultra-super critical yang akan dikembangkan di pulau Jawa dan Sumatera, serta teknologi yang lebih efisien di Indonesia Timur. Ada sembilan lokasi PLTU di Pulau Jawa yang rencananya akan dikembangkan menggunakan teknologi boiler Ultra-Super Critical dengan total kapasitas sebesar 11.751 MW sampai dengan tahun 2028.

"Saat ini, Kementerian ESDM sedang menyiapkan konsep Kepmen ESDM mengenai Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi dan Mitigasi Gas Rumah Kaca Bidang Energi. Ditjen Ketenagalistrikan telah melaksanakan inventarisasi emisi GRK melalui sistem Measurement, Reporting and Verification (MRV). MRV yang handal merupakan prasyarat agar pencapaian target penurunan emisi GRK dapat terukur dan dapat mendukung peningkatan upaya-upaya mitigasi GRK di subbidang ketenagalistrikan," lanjut Wanhar.

Sejak tahun 2003, Ditjen Ketenagalistrikan telah mengembangkan dan mengoperasionalkan sistem MRV emisi GRK. Ditjen Ketenagalistrikan juga telah mengembangkan sistem penghitungan dan pelaporan emisi GRK berbasis online yang telah dapat diakses oleh semua pihak, yaitu Aplikasi Penghitungan dan Pelaporan Emisi Ketenagalistrikan (APPLE - Gatrik).

Pedoman dan aplikasi tersebut diharapkan dapat mempermudah pelaku usaha pembangkit listrik dalam penyelenggaraan inventarisasi, menyeragamkan metodologi, mendapatkan data yang valid, sekaligus dapat mengukur kinerja unit pembangkitan tenaga listrik. (AT)