Ciptakan Pasar Energi, Salah Satu Upaya Pencapaian Target EBT 23%

Tuesday, 3 December 2019 - Dibaca 4767 kali

JAKARTA - Di tengah-tengah pesimisme pencapaian target EBT 23% pada tahun 2025, Pemerintah melalui Kementerian ESDM terus melakukan upaya percepatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) guna mewujudkan target bauran EBT tersebut.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian ESDM saat ini adalah menciptakan pasar-pasar energi baru. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) F.X Sutijastoto saat gelaran Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI pada Selasa (3/12) di Gedung Nusantara I. Creating Market atau penciptaan pasar-pasar energi baru dilakukan untuk mendukung pengembangan EBT yang telah ditetapkan pada RUPTL PLN tahun 2019-2028.

"Kami mengembangkan proyek-proyek 'Creating Market'. Kalau RUPTL di tahun 2025 itu ditargetkan 24.000 MW. Dalam rangka mengejar hal tersebut, kita mendorong adanya tambahan sekitar 3.500 MW," tuturnya di hadapan anggota Komisi VII DPR RI.

Untuk jangka pendek, program pengembangan EBT difokuskan pada upaya mendorong pengembangan PLTS. Kemudian dilanjutkan pengembangan PLTB dan PLTA. "Inilah upaya kami agar dapat mencapai 3.500 MW. Untuk investasinya kita membutuhkan investasi sekitar 37 Miliyar selama 5 tahun kedepan," tukas Dirjen Toto.

Penciptaan pasar-pasar energi yang baru dilakukan melalui:

1. Sinergi BUMN, misalnya bendungan dengan PJB, PLTP dengan PGE-PLNGG;

2. Sinergi dengan rencana pembangunan daerah, contohnya ecotourism berbasis panas bumi di Flores-Labuan Bajo;

3. Mengembangkan Biofuel dan Greenfuel;

4. Mengembangankan metode pengadaan PLT EBT dengan harga yang kompetitif, akses kepada teknologi dan serta pendanaan yang kompetitif; dan

5. Merevisi peraturan perundang-undangan untuk mendukung pengembangan EBT.

Meski demikian, Dirjen Toto mengakui adanya beberapa kendala dalam pengembangan EBT, antara lain pengadaan lahan, kesulitan akses pada teknologi yang efisien, akses kepada infrastruktur jaring transmisi dan distribusi, akses kepada pendanaan yang murah, harga keekonomian yang wajar, tata kelola pengembangan PLT EBT yang belum sinkron, kewajiban pengembang EBT yang menambah biaya investasi, dan yang terakhir adalah PPA yang Bankable.

"Solusinya adalah dalam jangka pendek kita akan masukan ke dalam Perpres karena ini menyangkut berbagai pihak baik melalui Kementerian/Lembaga terkait. Untuk jangka Menengah dan Panjang kita sangat berharap bisa melalui Undang-undang EBT untuk mendorong pengembangan EBT di Indonesia," tandasnya. (RWS)