Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaik di Indonesia
JAKARTA - Pada tanggal 13 September 2017 kemarin ditengah - tengah acara jamuan makan malam dalam rangka Indo EBTKE Connex dan Bali Clean Energy Forum 2017, telah dilaksanakan Deklarasi Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaik di Indonesia. Deklarasi ini didukung berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat melalui berbagai asosiasi masyarakat dan perusahaan. Diantara penandatangan adalah Direktur Jeneral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktur Jenderal Industri Logam, Manufaktur, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Indonesia, Asosiasi Energi Surya Indonesia, Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia, Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap serta beberapa asosiasi lainnya.
Gerakan ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk memperkuat ketahanan energi nasional melalui pencapaian target Energi Baru Terbarukan dalam bauran energi primer sebagaimana yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan adanya peningkatan bauran Energi Terbarukan dari 5% pada 2015 menjadi 23% pada 2025. Dari target Energi Terbarukan 23% bauran energi nasional ini, proyeksi Pembangkit Listrik Tenaga Surya adalah sebesar 5000 MWp di 2019 dan 6400 MWp pada tahun 2025. Hingga saat ini pemanfataan Pembangkit Listrik Tenaga Surya secara nasional tahun 2017 baru mencapai 80 MWp. Kendala terbesar tercapainya target bauran energi nasional ini adalah minimnya investasi IPP akibat masalah kurang menariknya investasi karena beberapa persoalan keekonomian seperti persoalan dukungan finansial termasuk bunga bank yang terlalu tinggi, tantangan dalam akuisisi lahan, maupun kendala teknis seperti terbatasnya ketersediaan jaringan interkoneksi dan lain-lain. Potensi pemanfaataan energi surya di Indonesia sebenarnya sangat luas, dapat digunakan untuk melistriki daerah-daerah terpencil dan terisolasi yang ketersediaan sumberdaya energi lainnya tidak tersedia atau karena bebannya terlalu tersebar sehingga tidak akan ekonomis bila menggunakan pembangkit listrik lainnya. Pemanfaatannyapun sangat luas, mulai dari penerangan rumah dan jalan, menjadi catu daya sistem telekomunikasi, catu daya rambu-rambu lalu lintas serta pompa air.
Untuk mendorong peningkatan penetrasi teknologi listrik tenaga surya (solar photovoltaic) di Indonesia sehingga dapat tercapai "The First Gigawatt Solar Power" sebelum 2020, dibutuhkan lompatan yang besar dalam 2 tahun, karena di tahun 2019 diharapkan ada sekitar 5000 MWp pemanfaatan PLTS. Diperlukan sebuah gerakan secara nasional untuk mengajak masyarakat terlibat secara aktif berpartisipasi menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya melalui berbagai skema pendanaan yang menarik dan insentif untuk makin membuka pasar tanpa perlu tergantung pada anggaran pemerintah.
Saat ini di dunia, harga sel dan modul surya juga semakin murah, harga listrik dari surya sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan harga listrik dari pembangkit listrik lainnya. Harga modul surya saat ini telah berada di bawah US $ 1/ Wp dan cenderung akan menurun terus hingga berada di kisaran US $0,5/ Wp. Ini berakibat menjadikan harga sistem berada di sekitar US $ 1500/ kWp dan biaya pokok produksi Pembangkit Listrik Tenaga Surya berada di kisaran US $0,04/ kWh. Menurunnya harga modul surya ini sebagai akibat dari unjuk kerja dari modul yang lebih baik dalam beberapa tahun terakhir karena meningkatnya efisiensi modul serta akibat dari tercapainya skala keekonomian yang lebih baik karena produksi modul surya yang sangat masif. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya di beberapa negara telah mencapai skala Gigawatt. Tren pasar dunia penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya meningkat dari 6.5 GWp pada 2008 menjadi 81 GWp pada 2016 yang mengakibatkan harga penjualan yang semakin turun signifikan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya juga dimanfaatkan untuk mendorong pengurangan emisi CO2 di udara karena lebih ramah lingkungan.
Dasar pemikiran diusulkannya Gerakan ini adalah karena di Pulau Jawa ada 30 juta pelanggan rumah tangga di mana 1/3 merupakan rumah menengah ke atas, atau 10 juta rumah. Kalau 10 juta rumah memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya di masing-masing atapnya 4 KW saja, ini sudah mencapai 4,000 MWp. Kalau hanya 1/4 nya saja, inipun masih mencapai 1 Gigawatt. 1 Gigawatt di Pulau Jawa tidak akan berpengaruh besar terhadap sistem kelistrikan, karena penggunaan listrik di siang hari sudah di atas 10.000 MW. Jika diberi kebijakan dan rangsangan yang tepat, maka Pembangkit Listrik Tenaga Surya atap bisa menjadi pilar dalam mencapai 5000 MWp. Ini akan menjadi potensi yang sangat besar. Dengan Potensi pasar tinggi ini, maka pengembangan industri PV di Indonesia akan menjadi sebuah keniscayaan.
Pemerintah sebenarnya telah menetapkan Industri pembangkit energi sebagai industri prioritas, hal ini tercantum dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Naisonal (RIPIN) 2016-2035 yang merupakan penjabaran UU no. 3/ 2014 tentang Perindustrian. Pengembangan industri Fotovoltaik di Indonesia telah menjadi fokus dari Kementrian Perindustrian. Pengembangan industri hulu dan intermediate menjadi arah perkembangan jangka menengah dan panjang PLTS di Indonesia. Konsep regulasi TKDN dalam bidang PLTS juga harus memperhatikan potensi sumber daya di dalam negeri. Pengembangan industri harus dapat menghasilkan daya saing nasional secara bertahap. Fokus dalam pengembangan industri Fotovoltaik adalah PV modul, solar cell, solar wafer polisilicon baik metal grade maupun solar grade. Peningkatan kualitas dan keamanan produk juga perlu memenuhi standar international seperti IEC 61215 dan IEC 61730 dan perlu dikembangkan standar nasional serta membangun laboratorium uji yang handal sehingga dapat mencegah produk yang beredar di dalam negeri yang kualitas rendah baik dari lokal dan import.
Agar program ini berhasil maka diperlukan adanya ada konsep bisnis model berdasarkan interaksi teknologi yang telah ada saat ini, potensi dan kebutuhan pasar, untuk memenuhi target yang ditetapkan pemerintah dan sekaligus mempersiapkan industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar. Diharapkan industri dalam negeri ini dapat terus meningkatkan perannya dalam mendukung pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Tujuan Program ini adalah:
1. Mendorong dan mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik atap di perumahan, fasilitas umum, perkantoran pemerintah, bangunan komersial, dan kompleks industri, hingga mencapai orde gigawat sebelum 2020;
2. Mendorong tumbuhnya industri nasional sistem fotovoltaik yang berdaya saing dan menciptakan kesempatan kerja hijau (green jobs);
3. Mendorong penyediaan listrik yang handal, berkelanjutan dan kompetitif;
4. Mendorong dan memobilisasi partisipasi masyarakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan ancaman perubahan iklim, dan ikut mendukung terlaksananya komitmen Indonesia atasParis Agreement dan upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam pelaksanaan Gerakan Nasional Sejuta Atap Surya ini, para penggagas bersepakat untuk:
1. Berkolaborasi dan bersinergi untuk membangun pasar fotovoltaik nasional yang luas dan kompetitif;
2. Berkoordinasi, berkolaborasi dan bersinergi dalam mengidentifikasi dan mengimplementasikan strategi-strategi yang efektif untuk menyingkirkan hambatan-hambatan kebijakan dan regulasi, teknis, dan pendanaan yang menghalangi pengembangan fotovoltaik atap;
3. Bersama-sama melakukan sosialisasi secara aktif kepada masyarakat, pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya;
4. Berkontribusi secara aktif sesuai dengan bidang keahlian dan kapasitas yang dimiliki;
5. Berusaha mengoptimalkan pengintegrasian fotovoltaik atap dalam program dan proyek penyediaan listrik, pembangunan perumahan rakyat,serta pembangunan fasilitas dan infrastruktur publik yang diinisiasi dan didukung oleh pemerintah dan pemerintah daerah. (bw)