Jaring Perspektif Pengembangan CCS/CCUS, Kementerian ESDM Diskusi dengan Negara Mitra

Thursday, 24 March 2022 - Dibaca 228 kali

Yogyakarta, Regulasi penyelenggaraan kegiatan Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) tengah disusun Pemerintah melalui Kementerian ESDM. Untuk mendapatkan berbagai perspektif tentang bagaimana CCS/CCUS harus dikembangkan, Pemerintah telah berkonsultasi tentang rancangan regulasi dengan beberapa negara mitra yang lebih maju seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Kanada, serta Eropa.

"Rancangan aturannya sudah selesai dari kita. Sudah dilakukan diskusi dengan komunitas internasional seperti Australia dan Amerika Serikat yang lebih maju dalam pengembangan CCS/CCUS. Sekarang rancangannya sudah diserahkan ke Biro Hukum Kementerian ESDM," ungkap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji disela-sela acara Sidang Energy Transitions Working Group (ETWG)-1 hari pertama, Kamis (24/3), di Hotel Sheraton, Yogyakarta.

Dalam penyusunan regulasi ini, Kementerian ESDM telah membentuk tim penyusun dengan melibatkan stakeholder seperti SKK Migas, BPMA, CoE CCS/CCUS ITB, Lemigas Kementerian ESDM, IPA, Pertamina, BP, Medco, Repsol, Inpex, ENI, ExxonMobil ConocoPhillips dan khusus dari Aceh adalah PEMA.

Ruang lingkup regulasi ini terdiri dari aspek teknis, skenario bisnis, aspek hukum dan aspek ekonomi. Hal-hal yang diatur dalam aspek teknis, antara lain penangkapan, transportasi, injeksi, penyimpanan dan monitoring, pengukuran, pelaporan dan verifikasi (monitoring dan MRV). Selain itu, penetapan tujuan, spesifik lokasi, berdasarkan standar acuan dan praktek engineering (keteknikan) yang baik. "Kalau dari aspek teknis, harus dipastikan karbon yang disimpan aman," kata Tutuka.

Sementara mengenai aspek skenario bisnis, antara lain berdasarkan kontrak bagi hasil blok migas, sumber emisi CO2 tidak hanya berasal dari migas tetapi juga dari industri-industri lainnya melalui b to b dengan KKKS.

Aspek lainnya adalah hukum, seperti proposal CCS/CCUS sebagai bagian dari PoD, pengalihan tanggung jawab dan sebagainya. "Dari sisi legal, bagaimana mengembangkannya secara hukum. Kita mengadopsi dari wilayah kerja saja dan dilingkupi dengan PoD. Di luar wilayah kerja, dikerjakan dengan aturan lain lagi," paparnya.

Sedangkan aspek ekonomi, antara lain mengatur potensi pendanaan pihak ketiga, potensi monetisasi kredit karbon berdasarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021, serta pemisahan kredit karbon dalam kontrak bagi hasil.

Terkait keekonomian teknologi ini, menurut Tutuka, harga saat ini sekitar US$50 per metrik ton. Namun dengan berjalannya waktu, diharapkan harganya dapat lebih ekonomis sekitar US$30 per metrik ton.

Pemerintah mengharapkan teknologi CCS/CCUS ini dapat menjadi salah satu pokok bahasan dalam Presidensi G20 Indonesia. "Kita harapkan materi ini bisa dibawa ke G20. Kita sudah pernah kerja sama dengan Jepang dan mau diluaskan dengan negara lainnya. Untuk dibahas di G20, salah satu syaratnya adalah melibatkan banyak negara (multilateral)," jelas Tutuka.

Di Indonesia, setidaknya ada sepuluh proyek dengan jadwal target onstream yang beragam. Proyek-proyek ini dilakukan oleh beberapa KKKS di mana status saat ini beberapa proyek dalam tahap studi, tahap Pra-FS dan beberapa masih dalam pembahasan.

Kajian penerapan CCS/CCUS pada lapangan-lapangan migas di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 2011 yaitu di Lapangan Gundih, Jawa Tengah, bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), J-Power dan Janus.

"Gundih itu sudah dilakukan studi lebih dari 10 tahun lalu, sudah sampai injeksi pilot. Sekarang mau pindah dari CCS ke CCUS karena karbonnya diinjeksikan ke reservoar," tambahnya.

Selain itu, Proyek CCS/CCUS di Lapangan Tangguh yang diharapkan onstream tahun 2026, Lapangan Sukowati, Sakakemang, Abadi, Arun dan Ramba. (TW)