Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan (1/2)

Tuesday, 29 November 2011 - Dibaca 13642 kali

Oleh: Widjajono Partowidagdo

Terdapat beberapa anggapan yang keliru mengenai energi di Indonesia, antara lain:

  1. Indonesia adalah negara yang kaya minyak, padahal tidak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, CBM (Coal Bed Methane), panas bumi, air, BBN (Bahan Bakar Nabati) dan sebagainya
  2. Harga BBM (Bahan Bakar Minyak) harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal ini menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi harga BBM, ketergantungan kita kepada BBM yang berkelanjutan serta kepada impor minyak dan BBM yang makin lama makin besar serta makin sulitnya energi lain berkembang
  3. Investor akan datang dengan sendirinya tanpa perlu kita bersikap bersahabat dan memberikan iklim investasi yang baik
  4. Peningkatan kemampuan nasional akan terjadi dengan sendirinya tanpa keberpihakan Pemerintah.
Potensi Energi Nasional 2010 (Sumber: ESDM 2011) terdiri atas energi fosil dan energi non fosil. Terlihat bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 milyar barel. Justru, kita lebih banyak memiliki energi non minyak.

Indonesia memproduksi minyak sebesar 345 juta barel, mengekspor minyak mentah sebesar 130 juta barel, mengimpor minyak mentah sebesar 103 juta barel dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 124 juta barel pada tahun 2010 (Sumber ESDM 2011) dan mengkonsumsi 423 barel. Terdapat defisit sebesar 97 juta barel per tahun. Cadangan terbukti minyak kita hanya 3,7 milyar barel atau 0,3% cadangan terbukti dunia.

Sebagai negara net importer minyak dan tidak memiliki cadangan terbukti minyak yang banyak, kita tidak bijaksana apabila mengikuti harga BBM murah di negara-negara yang cadangan minyaknya melimpah.

Penemuan cadangan minyak sedikit sekali mulai tahun 2003. Akibatnya, produksi kita turun menjadi di bawah 1 juta barel per hari. Memang biaya (Cost Recovery) meningkat dari tahun ke tahun berikutnya, tetapi Harga Minyak, Gross Revenue, Revenue to Cost Ratio dan Penerimaan Negara juga meningkat dari tahun ke tahun berikutnya.

Cadangan dan produksi minyak yang turun tidak dapat diinterpretasikan dengan minyak kita sudah habis atau prospek eksplorasi di Indonesia rendah, karena di Malaysia telah ditemukan prospek Kikeh di laut dalam dengan cadangan 1 Milyar BOE (Barrel of Oil Equivalent), sehingga laut dalam di Indonesia terutama selat Makasar menjadi perhatian perusahaan-perusahaan raksasa.

Proyek-proyek raksasa LNG (Liquefied Natural Gas) di Australia yang sedang dikembangkan adalah Evans Shoal, Gorgon, Ichthys, Pluto, Browse dan Bay Undan, sedangkan di Indonesia hanya Tangguh. Perlu dicatat bahwa Australia termasuk low risk dan Malaysia adalah medium risk. Informasi ini diperoleh dari Top 135 Projects yang diterbitkan oleh GSRI, 2007.

Tingginya risiko di Indonesia mengakibatkan perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada, akibatnya produksi turun. Perlu usaha untuk memperbaiki keadaan tersebut degan mengundang investor guna meningkatkan cadangan dan produksi migas di Indonesia.

Mengundang investor adalah seperti mengundang pelanggan untuk rumah makan. Seseorang akan menjadi pelanggan apabila dia tahu, sehingga promosi itu penting. Promosi saja tidak cukup karena pelanggan tersebut tidak akan datang lagi apabila yang dipromosikan tidak sesuai dengan kenyataan. Rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, harganya bersaing, pelayanannya dan lingkungannya baik. Perlu peningkatan kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan, dengan seismik serta studi geofisika dan geologi yang lebih baik. Harga bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang menarik.

Kontrak bagi hasil dan kontrak lainnya akan bermasalah apabila tidak dijiwai kemitraan (partnership) atau pelayanannya tidak baik. Perlu sistem fiskal yang fleksibel dan lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan Bagian Pemerintah atau GT (Government Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane) agar kontraktor lebih bersemangat untuk mengembangkan prospek perminyakan biaya tinggi seperti daerah terpencil dan laut dalam, proyek EOR dan lapangan-lapangan yang menengah dan kecil seperti di Malaysia dan Negara-negara lain.

Pada masa lalu sistem fiskal yang bagian Pemerintahnya tetap berapapun keuntungannya tidak mempunyai masalah karena kegiatan-kegiatan dilakukan di daratan dan laut dangkal, primary recovery dan lapangan yang relatif besar. Kontrak Bagi Hasil memerlukan perlakuan lex specialist karena Pemerintah mendapat bagian yang sangat tinggi yaitu 85 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas dari Pendapatan Bersih yaitu Revenue dikurang Cost Recovery. Sebaiknya, tidak dikenakan pungutan-pungutan tambahan.

Cost recovery adalah untuk meningkatkan produksi dan dibayar oleh pendapatan dari produksi yang juga berlaku di pajak biasa. Membatasi cost recovery dapat membatasi produksi. Eksplorasi belum tentu menemukan minyak. Mengenakan pajak pada waktu eksplorasi akan menurunkan peringkat investasi Indonesia. Perlu peningkatan pelayanan untuk Penawaran Wilayah Kerja dan POD Pertama serta untuk Persetujuan WP&B dan POD.

Perlu diatasi permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu:
  1. Pembebasan Tanah
  2. Kehutanan
  3. Masalah perijinan dan biokrasi
  4. Desentralisasi
  5. Koordinasi
Pembebasan tanah sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dan Kontraktor yang membayarnya. Dalam pandangan sebagian masyarakat, kontraktor itu kaya dan serakah sehingga selayaknya dimintai sebanyak-banyaknya.

Perlu disadari kegiatan migas dan panas bumi tidak seperti kegiatan pertambahan umum yang mengelupas tanah sehingga membutuhkan lahan yang luas. Di sini kegiatannya adalah mengebor tanah. Pada waktu diskusi panas bumi di Universitas Udayana Bali didapat informasi bahwa proyek panas bumi di Bedugul hanya membutuhkan lahan seluas 80 hektar. Lebih baik perusahaan migas diperbolehkan untuk melakukan kegiatan di hutan tetapi diberi tugas untuk membantu menanam pohon disitu.

Perlu disadari bahwa perusahaan yang melakukan pemboran di laut selalu berpindah. Misal, sekarang di Indonesia, kemudian ke Vietnam dan berikutnya ke Afrika. Cabotage yang mengharuskan kapal yang beroperasi di Indonesia harus berbendera di Indonesia mempersulit usaha perminyakan di offshore. Padahal 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri dari laut.

Di Indonesia ada sindiran: "Kalau bisa dipersulit kenapa tidak". Ijin kadang-kadang dipersulit dengan maksud supaya mendapat upeti sehingga biaya menjadi lebih mahal. Di samping itu perusahaan multinasional kebanyakan melarang penyogokan sehingga ijin menjadi berlarut-larut.

Desentralisasi (kewajiban dan dana) sebaiknya tidak hanya berhenti di tingkat elit saja. 40% bagian kabupaten penghasil (40% bagian daerah) sebaiknya diberikan ke kecamatan penghasil, lebih lanjut 40% bagian kecamatan penghasil diberikan ke kelurahan penghasil sehingga rakyat bisa menikmati manfaat dari kegiatan migas di depan matanya. Akibatnya rakyat akan mendukung dan bukan menghambatnya.

Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, dan lain lain) serta antar pusat dan daerah, dan antar daerah di bidang migas.

Peningkatan kemampuan nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis, dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerja sama dengan operator sebelumnya.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan migas Internasional. Perlu dijajaki kemungkinan kerja sama energi di luar negeri baik untuk minyak dan gas. Untuk minyak dengan negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Untuk gas misal dengan Iran yang memiliki cadangan gas nomor dua terbesar di dunia yaitu 982 TCF, Algeria 159 TCF, Nigeria 187 TCF sedangkan Indonesia mempunyai pengalaman memproduksikan gas dan LNG lebih dari 30 tahun. Dengan membantu memproduksikan gas dan LNG dari Iran, Algeria, Nigeria dan negara-negara lain, maka Indonesia bisa mendapatkan bagi hasilnya sehingga dapat mengimpor gas.

Lebih baik mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM karena harganya lebih murah. Perlu dicatat negara tetangga kita, Australia, mempunyai cadangan gas 89 TCF dengan penduduk sedikit. Syarat untuk mengimpor gas adalah adanya LNG Receiving Terminal.

Produksi dan cadangan terbukti minyak kita turun terus. Walaupun cadangan terbukti gas kita empat kali lipat cadangan minyak tetapi program konversi minyak ke gas domestik tidak berjalan mulus. Program 10.000 MW PLTU (Uap) Batubara tidak berjalan mulus dan sebagian besar produksi batubara kita diekspor. PLTA (Air) di luar Jawa kurang berkembang. Program Bahan Bakar Nabati tidak berjalan seperti yang diharapkan. PLTS (Surya) dan PLTB (Bayu) banyak yang tidak berfungsi lagi. Berarti ada yang tidak pas di Negeri ini.

Marilah kita evaluasi satu per satu. Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi yang kurang menarik. Gas kurang termanfaatkan untuk domestik karena harga domestik yang tidak menarik dan tidak disiapkannya infrastruktur dimasa lalu. Batubara 10.000 MW kurang berkembang karena terdapat masalah negosiasi, birokrasi dan koordinasi. Kebanyakan batubara diekspor karena harga domestik yang kurang menarik dibandingkan harga ekspor. PLTA kurang berkembang karena masalah birokrasi, koordinasi, promosi dan kemauan politik untuk mengembangkan industri di luar Jawa. Panas bumi kurang berkembang karena harga domestik yang tidak menarik di masa lalu. Bioenergi kurang berkembang karena masalah harga, peraturan, insentif, birokrasi, koordinasi dan litbang. Surya dan bayu tidak terawat karena kurang dikembangkan litbang dan kemampuan nasional disamping masalah birokrasi dan koordinasi. Konservasi kurang berhasil karena harga energi murah, peraturan (kurangnya insentif untuk penghematan energi), kurangnya transportasi umum yang baik dan kurangnya dukungan bagi litbang serta kurangnya peningkatan kemampuan nasional untuk itu.

Menurut International Sustainable Energy Organization (ISEO) biaya energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, panas bumi, arus laut dan hidrogen akan turun di masa depan, sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Tenaga Air (PLTA) akan naik (walaupun masih tetap rendah). Biaya Energi Tak Terbarukan seperti Minyak, Gas, Batubara dan Nuklir akan naik di masa depan.

German Working Party, 2004 memperkirakan Biaya Energi sampai tahun 2050 termasuk menggunakan Geocogen (Geothermal deepwell energy cogeneration) dan SBSP (Space Based Solar Power). Juga diperkirakan True Energy Cost dengan memperhitungkan Resiko, Biaya Lingkungan dan Carbon Credit (Sumber: Gustav R. Grob (ISEO Executive Secretary dan ICEC President).

Batubara bisa lebih bersih lingkungan, konsekuensinya biayanya lebih mahal. Batubara bisa dibuat cair (Coal To Liquid atau CTL) atau dijadikan gas. Gas bisa dibuat cair (Gas To Liquid atau GTL). Gas bisa diperoleh dari Gas Alam (Potensi 335 TCF), dari CBM (Potensi 454 TCF), Shale Gas dan dari Methane Hydrate (Potensi 625 TCF).

International Energy Agency atau IEA di Paris tahun 2011 memberikan Electricity Generation Costs 2010 dan Perkiraan 2050. Tidak benar kalau energi nuklir sangat aman karena di samping Chernobyl dan Three Mile Island, di Amerika Serikat 27 dari 104 reaktor nuklirnya pernah bocor (Tobi Raikkonen, 12 Maret 2010).

Menurut USA Today 17 Juli 2007 di Jepang terjadi kebocoran nuklir 1997-2007 sebanyak 8 kali. Apalagi kemudian terjadi tragedi Fukushima (2011). Banyak negara-negara Eropa yang menutup PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir)nya tahun 2020.

Penanganan dan penyimpanan limbah Uranium yang benar adalah mahal dan kalau tidak benar berbahaya. Perancis bisa membantu memproses limbah Uranium tetapi limbah terakhirnya tetap dikirim ke Negara asal yang mempunyai PLTN.

Andaikata Nuklir ingin dikembangkan segera maka paling cepat dioperasikan pada 2021 karena memerlukan 10 tahun untuk merealisasikan PLTN seperti di Malaysia. Sebaiknya Indonesia bekerja sama dengan Singapura dan Malaysia (lebih baik bila juga dengan negara-negara Asean lainnya). Lokasi pembangkitannya bisa di Pulau kosong di Indonesia dekat Singapura. Makin banyak negara-negara yang mengawasi diharapkan makin aman dan makin banyak negara-negara yang memakai makin murah.

Hal-hal yang perlu dilakukan: kita perlu meningkatkan cadangan dan produksi migas, meningkatkan pemanfaatan energi non migas di daerah-daerah, mengurangi subsidi harga energi dan meningkatkan kemampuan nasional.

A. Meningkatkan Cadangan dan Produksi Migas
Meningkatkan cadangan migas dapat dilakukan dengan meningkatkan eksplorasi migas untuk menemukan lapagan -lapangan baru dan meningkatkan Enhanced Oil Recovery di lapangan-lapangan yang sudah ada:

1. Meningkatkan eksplorasi migas dimana Indonesia mempunyai potential resources sebesar 56 Milyar Barel. Perlu disadari bahwa resources ini tidak akan jadi Proven Reserves tanpa eksplorasi. Apabila terdapat investasi untuk eksplorasi sehingga setengah dari potensi tersebut dapat menjadi terbukti maka terdapat tambahan cadangan sebesar 28 milyar barel. Perlu dicatat bahwa eksplorasi di laut dalam, daerah terpencil dan pemboran dalam lebih mahal. Hal-hal yang perlu dilakukan:
  • Perlu sistem fiskal yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi risiko kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah atau GT (Government Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane).
  • Meningkatkan kualitas pelelangan dan informasi wilayah kerja yang ditawarkan (dengan studi Geofisika dan Geologi yang lebih baik) supaya diperoleh perusahaan-perusahaan migas yang bonafit.
  • Meningkatkan iklim investasi migas dengan regulasi dan birokrasi serta koordinasi antar institusi dan birokrat yang mendukungnya. Perlu diatasi permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu: 1. Pembebasan Tanah, 2. Kehutanan, 3. Masalah Perijinan dan biokrasi, 4. Desentralisasi, 5. Koordinasi.
  • Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri dan lain lain) serta antar Pusat dan Daerah dan antar Daerah di bidang migas.
2. Meningkatkan Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan-lapangan produksi yang mempunyai Remaining Oil in Place sebesar 60 milyar Barel. Artinya kalau kita dapat memproduksikan setengahnya saja dengan EOR maka kita mendapat tambahan cadangan terbukti sebesar 30 milyar barel. Perlu dicatat bahwa biaya EOR lebih mahal. Yang perlu dilakukan:
  • Mendanai peningkatan penelitian EOR di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian terutama yang sudah melakukannya.
  • Mewajibkan kontraktor migas untuk studi potensi EOR dan melakukan pilot EOR dengan memberi kesempatan kepada Institusi Domestik.
  • Memberi insentif bagi penambahan produksi akibat EOR.

Oleh: Widjajono Partowidagdo

Terdapat beberapa anggapan yang keliru mengenai energi di Indonesia, antara lain:

  1. Indonesia adalah negara yang kaya minyak, padahal tidak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, CBM (Coal Bed Methane), panas bumi, air, BBN (Bahan Bakar Nabati) dan sebagainya
  2. Harga BBM (Bahan Bakar Minyak) harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal ini menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi harga BBM, ketergantungan kita kepada BBM yang berkelanjutan serta kepada impor minyak dan BBM yang makin lama makin besar serta makin sulitnya energi lain berkembang
  3. Investor akan datang dengan sendirinya tanpa perlu kita bersikap bersahabat dan memberikan iklim investasi yang baik
  4. Peningkatan kemampuan nasional akan terjadi dengan sendirinya tanpa keberpihakan Pemerintah.
Potensi Energi Nasional 2010 (Sumber: ESDM 2011) terdiri atas energi fosil dan energi non fosil. Terlihat bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 milyar barel. Justru, kita lebih banyak memiliki energi non minyak.

Indonesia memproduksi minyak sebesar 345 juta barel, mengekspor minyak mentah sebesar 130 juta barel, mengimpor minyak mentah sebesar 103 juta barel dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 124 juta barel pada tahun 2010 (Sumber ESDM 2011) dan mengkonsumsi 423 barel. Terdapat defisit sebesar 97 juta barel per tahun. Cadangan terbukti minyak kita hanya 3,7 milyar barel atau 0,3% cadangan terbukti dunia.

Sebagai negara net importer minyak dan tidak memiliki cadangan terbukti minyak yang banyak, kita tidak bijaksana apabila mengikuti harga BBM murah di negara-negara yang cadangan minyaknya melimpah.

Penemuan cadangan minyak sedikit sekali mulai tahun 2003. Akibatnya, produksi kita turun menjadi di bawah 1 juta barel per hari. Memang biaya (Cost Recovery) meningkat dari tahun ke tahun berikutnya, tetapi Harga Minyak, Gross Revenue, Revenue to Cost Ratio dan Penerimaan Negara juga meningkat dari tahun ke tahun berikutnya.

Cadangan dan produksi minyak yang turun tidak dapat diinterpretasikan dengan minyak kita sudah habis atau prospek eksplorasi di Indonesia rendah, karena di Malaysia telah ditemukan prospek Kikeh di laut dalam dengan cadangan 1 Milyar BOE (Barrel of Oil Equivalent), sehingga laut dalam di Indonesia terutama selat Makasar menjadi perhatian perusahaan-perusahaan raksasa.

Proyek-proyek raksasa LNG (Liquefied Natural Gas) di Australia yang sedang dikembangkan adalah Evans Shoal, Gorgon, Ichthys, Pluto, Browse dan Bay Undan, sedangkan di Indonesia hanya Tangguh. Perlu dicatat bahwa Australia termasuk low risk dan Malaysia adalah medium risk. Informasi ini diperoleh dari Top 135 Projects yang diterbitkan oleh GSRI, 2007.

Tingginya risiko di Indonesia mengakibatkan perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada, akibatnya produksi turun. Perlu usaha untuk memperbaiki keadaan tersebut degan mengundang investor guna meningkatkan cadangan dan produksi migas di Indonesia.

Mengundang investor adalah seperti mengundang pelanggan untuk rumah makan. Seseorang akan menjadi pelanggan apabila dia tahu, sehingga promosi itu penting. Promosi saja tidak cukup karena pelanggan tersebut tidak akan datang lagi apabila yang dipromosikan tidak sesuai dengan kenyataan. Rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, harganya bersaing, pelayanannya dan lingkungannya baik. Perlu peningkatan kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan, dengan seismik serta studi geofisika dan geologi yang lebih baik. Harga bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang menarik.

Kontrak bagi hasil dan kontrak lainnya akan bermasalah apabila tidak dijiwai kemitraan (partnership) atau pelayanannya tidak baik. Perlu sistem fiskal yang fleksibel dan lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan Bagian Pemerintah atau GT (Government Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane) agar kontraktor lebih bersemangat untuk mengembangkan prospek perminyakan biaya tinggi seperti daerah terpencil dan laut dalam, proyek EOR dan lapangan-lapangan yang menengah dan kecil seperti di Malaysia dan Negara-negara lain.

Pada masa lalu sistem fiskal yang bagian Pemerintahnya tetap berapapun keuntungannya tidak mempunyai masalah karena kegiatan-kegiatan dilakukan di daratan dan laut dangkal, primary recovery dan lapangan yang relatif besar. Kontrak Bagi Hasil memerlukan perlakuan lex specialist karena Pemerintah mendapat bagian yang sangat tinggi yaitu 85 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas dari Pendapatan Bersih yaitu Revenue dikurang Cost Recovery. Sebaiknya, tidak dikenakan pungutan-pungutan tambahan.

Cost recovery adalah untuk meningkatkan produksi dan dibayar oleh pendapatan dari produksi yang juga berlaku di pajak biasa. Membatasi cost recovery dapat membatasi produksi. Eksplorasi belum tentu menemukan minyak. Mengenakan pajak pada waktu eksplorasi akan menurunkan peringkat investasi Indonesia. Perlu peningkatan pelayanan untuk Penawaran Wilayah Kerja dan POD Pertama serta untuk Persetujuan WP&B dan POD.

Perlu diatasi permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu:
  1. Pembebasan Tanah
  2. Kehutanan
  3. Masalah perijinan dan biokrasi
  4. Desentralisasi
  5. Koordinasi
Pembebasan tanah sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dan Kontraktor yang membayarnya. Dalam pandangan sebagian masyarakat, kontraktor itu kaya dan serakah sehingga selayaknya dimintai sebanyak-banyaknya.

Perlu disadari kegiatan migas dan panas bumi tidak seperti kegiatan pertambahan umum yang mengelupas tanah sehingga membutuhkan lahan yang luas. Di sini kegiatannya adalah mengebor tanah. Pada waktu diskusi panas bumi di Universitas Udayana Bali didapat informasi bahwa proyek panas bumi di Bedugul hanya membutuhkan lahan seluas 80 hektar. Lebih baik perusahaan migas diperbolehkan untuk melakukan kegiatan di hutan tetapi diberi tugas untuk membantu menanam pohon disitu.

Perlu disadari bahwa perusahaan yang melakukan pemboran di laut selalu berpindah. Misal, sekarang di Indonesia, kemudian ke Vietnam dan berikutnya ke Afrika. Cabotage yang mengharuskan kapal yang beroperasi di Indonesia harus berbendera di Indonesia mempersulit usaha perminyakan di offshore. Padahal 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri dari laut.

Di Indonesia ada sindiran: "Kalau bisa dipersulit kenapa tidak". Ijin kadang-kadang dipersulit dengan maksud supaya mendapat upeti sehingga biaya menjadi lebih mahal. Di samping itu perusahaan multinasional kebanyakan melarang penyogokan sehingga ijin menjadi berlarut-larut.

Desentralisasi (kewajiban dan dana) sebaiknya tidak hanya berhenti di tingkat elit saja. 40% bagian kabupaten penghasil (40% bagian daerah) sebaiknya diberikan ke kecamatan penghasil, lebih lanjut 40% bagian kecamatan penghasil diberikan ke kelurahan penghasil sehingga rakyat bisa menikmati manfaat dari kegiatan migas di depan matanya. Akibatnya rakyat akan mendukung dan bukan menghambatnya.

Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, dan lain lain) serta antar pusat dan daerah, dan antar daerah di bidang migas.

Peningkatan kemampuan nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis, dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerja sama dengan operator sebelumnya.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan migas Internasional. Perlu dijajaki kemungkinan kerja sama energi di luar negeri baik untuk minyak dan gas. Untuk minyak dengan negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Untuk gas misal dengan Iran yang memiliki cadangan gas nomor dua terbesar di dunia yaitu 982 TCF, Algeria 159 TCF, Nigeria 187 TCF sedangkan Indonesia mempunyai pengalaman memproduksikan gas dan LNG lebih dari 30 tahun. Dengan membantu memproduksikan gas dan LNG dari Iran, Algeria, Nigeria dan negara-negara lain, maka Indonesia bisa mendapatkan bagi hasilnya sehingga dapat mengimpor gas.

Lebih baik mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM karena harganya lebih murah. Perlu dicatat negara tetangga kita, Australia, mempunyai cadangan gas 89 TCF dengan penduduk sedikit. Syarat untuk mengimpor gas adalah adanya LNG Receiving Terminal.

Produksi dan cadangan terbukti minyak kita turun terus. Walaupun cadangan terbukti gas kita empat kali lipat cadangan minyak tetapi program konversi minyak ke gas domestik tidak berjalan mulus. Program 10.000 MW PLTU (Uap) Batubara tidak berjalan mulus dan sebagian besar produksi batubara kita diekspor. PLTA (Air) di luar Jawa kurang berkembang. Program Bahan Bakar Nabati tidak berjalan seperti yang diharapkan. PLTS (Surya) dan PLTB (Bayu) banyak yang tidak berfungsi lagi. Berarti ada yang tidak pas di Negeri ini.

Marilah kita evaluasi satu per satu. Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi yang kurang menarik. Gas kurang termanfaatkan untuk domestik karena harga domestik yang tidak menarik dan tidak disiapkannya infrastruktur dimasa lalu. Batubara 10.000 MW kurang berkembang karena terdapat masalah negosiasi, birokrasi dan koordinasi. Kebanyakan batubara diekspor karena harga domestik yang kurang menarik dibandingkan harga ekspor. PLTA kurang berkembang karena masalah birokrasi, koordinasi, promosi dan kemauan politik untuk mengembangkan industri di luar Jawa. Panas bumi kurang berkembang karena harga domestik yang tidak menarik di masa lalu. Bioenergi kurang berkembang karena masalah harga, peraturan, insentif, birokrasi, koordinasi dan litbang. Surya dan bayu tidak terawat karena kurang dikembangkan litbang dan kemampuan nasional disamping masalah birokrasi dan koordinasi. Konservasi kurang berhasil karena harga energi murah, peraturan (kurangnya insentif untuk penghematan energi), kurangnya transportasi umum yang baik dan kurangnya dukungan bagi litbang serta kurangnya peningkatan kemampuan nasional untuk itu.

Menurut International Sustainable Energy Organization (ISEO) biaya energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, panas bumi, arus laut dan hidrogen akan turun di masa depan, sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Tenaga Air (PLTA) akan naik (walaupun masih tetap rendah). Biaya Energi Tak Terbarukan seperti Minyak, Gas, Batubara dan Nuklir akan naik di masa depan.

German Working Party, 2004 memperkirakan Biaya Energi sampai tahun 2050 termasuk menggunakan Geocogen (Geothermal deepwell energy cogeneration) dan SBSP (Space Based Solar Power). Juga diperkirakan True Energy Cost dengan memperhitungkan Resiko, Biaya Lingkungan dan Carbon Credit (Sumber: Gustav R. Grob (ISEO Executive Secretary dan ICEC President).

Batubara bisa lebih bersih lingkungan, konsekuensinya biayanya lebih mahal. Batubara bisa dibuat cair (Coal To Liquid atau CTL) atau dijadikan gas. Gas bisa dibuat cair (Gas To Liquid atau GTL). Gas bisa diperoleh dari Gas Alam (Potensi 335 TCF), dari CBM (Potensi 454 TCF), Shale Gas dan dari Methane Hydrate (Potensi 625 TCF).

International Energy Agency atau IEA di Paris tahun 2011 memberikan Electricity Generation Costs 2010 dan Perkiraan 2050. Tidak benar kalau energi nuklir sangat aman karena di samping Chernobyl dan Three Mile Island, di Amerika Serikat 27 dari 104 reaktor nuklirnya pernah bocor (Tobi Raikkonen, 12 Maret 2010).

Menurut USA Today 17 Juli 2007 di Jepang terjadi kebocoran nuklir 1997-2007 sebanyak 8 kali. Apalagi kemudian terjadi tragedi Fukushima (2011). Banyak negara-negara Eropa yang menutup PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir)nya tahun 2020.

Penanganan dan penyimpanan limbah Uranium yang benar adalah mahal dan kalau tidak benar berbahaya. Perancis bisa membantu memproses limbah Uranium tetapi limbah terakhirnya tetap dikirim ke Negara asal yang mempunyai PLTN.

Andaikata Nuklir ingin dikembangkan segera maka paling cepat dioperasikan pada 2021 karena memerlukan 10 tahun untuk merealisasikan PLTN seperti di Malaysia. Sebaiknya Indonesia bekerja sama dengan Singapura dan Malaysia (lebih baik bila juga dengan negara-negara Asean lainnya). Lokasi pembangkitannya bisa di Pulau kosong di Indonesia dekat Singapura. Makin banyak negara-negara yang mengawasi diharapkan makin aman dan makin banyak negara-negara yang memakai makin murah.

Hal-hal yang perlu dilakukan: kita perlu meningkatkan cadangan dan produksi migas, meningkatkan pemanfaatan energi non migas di daerah-daerah, mengurangi subsidi harga energi dan meningkatkan kemampuan nasional.

A. Meningkatkan Cadangan dan Produksi Migas
Meningkatkan cadangan migas dapat dilakukan dengan meningkatkan eksplorasi migas untuk menemukan lapagan -lapangan baru dan meningkatkan Enhanced Oil Recovery di lapangan-lapangan yang sudah ada:
  1. Meningkatkan Eksplorasi Migas dimana Indonesia mempunyai Potensial resources sebesar 56 Milyar Barel. Perlu disadari bahwa Resources ini tidak akan jadi Proven Reserves tanpa Eksplorasi. Apabila terdapat Investasi untuk Eksplorasi sehingga setengah dari Potensi tersebut dapat menjadi terbukti maka terdapat tambahan Cadangan sebesar 28 milyar barel. Perlu dicatat bahwa eksplorasi di laut dalam, daerah terpencil dan pemboran dalam lebih mahal. Hal-hal yang perlu dilakukan:
  • Perlu sistem Fiskal yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah atau GT (Government Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane).
  • Meningkatkan Kualitas Pelelangan dan Informasi Wilayah Kerja yang ditawarkan (dengan studi Geofisika dan Geologi yang lebih baik) supaya diperoleh Perusahaan-perusahaan Migas yang Bonafide.
  • Meningkatkan Iklim Investasi Migas dengan Regulasi dan Birokrasi serta Koordinasi antar Institusi dan Birokrat yang mendukungnya. Perlu diatasi permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu: 1. Pembebasan Tanah 2. Kehutanan 3. Masalah perijinan dan biokrasi, 4. Desentralisasi, 5. Koordinasi.
  • Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri dan lain lain) serta antar Pusat dan Daerah dan antar Daerah di bidang migas.
2. Meningkatkan Enhanced Oil Recovery (EOR) di Lapangan-lapangan Produksi yang mempunyai Remaining Oil in Place sebesar 60 milyar Barel. Artinya kalau kita dapat memproduksikan setengahnya saja dengan EOR maka kita kita mendapat tambahan Cadangan Terbukti sebesar 30 milyar barel. Perlu dicatat bahwa biaya EOR lebih mahal. Yang perlu dilakukan:
  • Mendanai Peningkatan Penelitian EOR di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian terutama yang sudah melakukannya.
  • Mewajibkan Kontraktor Migas untuk Studi Potensi EOR dan melakukan Pilot EOR dengan memberi kesempatan kepada Institusi Domestik.
  • Memberi Insentif bagi Penambahan Produksi akibat EOR.

B. Meningkatkan Pemanfaatan Energi Non Migas di Daerah-daerah

Perlu dibuat peta dan perkiraan potensi energi non migas yang lebih rinci disetiap daerah. Perlu ditawarkan kepada investor pengembangan energi tersebut. Apabila di daerah tersebut diketahui kekurangan permintaan energi maka diundang investor untuk mengembangkan industri di daerah tersebut sehingga diciptakan permintaan energi dan lapangan pekerjaan. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuan daerah secepat mungkin dengan pejabat-pejabatnya mengikuti workshop Analisis Kebijakan dalam jangka pendek dan mengirim pejabat-pejabatnya mengambil S2 baik di dalam dan di luar negeri, serta meningkatan kualitas pendidikan dasar, menengah dan tinggi di daerah. Perlu diperbanyak desa mandiri pangan dan energi. Tanggung jawab lingkungan fisik dan sosial dibagi daerah dan perusahaan mengingat daerah juga mendapat dana dari energi.

C. Membereskan Masalah Listrik

Perlu menfasilitasi PLN agar kontraktor bisa menyelesaikan proyek 10.000 MW Tahap 1, dan belajar dari kendala-kendala Tahap 1 kita selesaikan 10.000 MW Tahap 2 lebih baik dan lebih cepat. Wajib memakai bahan bakar non BBM (batubara, gas, panas bumi dan enegi terbarukan lainnya) untuk mengurangi subsidi BBM dan biaya listrik. Perlu dioptimalkan penggunaan energi domestik. Kalau perlu kita bisa mengimpor gas karena mengimpor gas lebih murah dari mengimpor BBM.

D. Mengurangi Subsidi Harga Energi

Perlu digantinya penggunaan BBM untuk energi tidak hanya untuk listrik, tetapi juga untuk transportasi, rumah tangga dan industri. Apabila Indonesia bisa memakai energi yang lebih murah sebagai pengganti BBM (yang mahal) maka dapat dihemat paling tidak seratus trilyun rupiah.

Pada tahun 2009 BBM untuk transportasi 37,2 milyar liter (l), rumah tangga 4,7 milyar liter, industri 9,8 milyar l, listrik 8,9 milyar l dan ABRI 0,5 milyar l. Apabila harga BBM Rp 8.000 per liter dan bisa mengganti 80% transportasi dengan BBG seharga Rp 4.000 per liter setara premium akan menghemat Rp 4.000 per liter atau Rp 119 trilyun. Kalau bisa mengganti 80% memasak dengan LPG seharga Rp 4.000 per liter setara minyak tanah akan menghemat Rp 4.000 per l atau Rp 15 trilyun dan kalau dengan gas kota di kota-kota besar akan lebih menghemat lagi.

Kalau bisa mengganti 80% BBM untuk listrik dengan energi lain akan menghemat Rp 5.300 per liter atau Rp 38 trilyun. Dana yang dihemat lebih dari 170 trilyun untuk harga BBM Rp 8.000 per liter. Dana tersebut dapat digunakan untuk pembagunan infrastruktur dan mengembangkan kemampuan migas dan energi nasional serta kemampuann asional lainnya sehingga menciptakan banyak lapangan kerja.

Secara bertahap perlu dinaikkan harga BBM dan di saat yang sama disediakan energi alternatif non BBM serta ditingkatkan penggunaan transportasi umum yang nyaman serta perlu insentif untuk kendaraan dan peralatan hemat energi.

E. Peningkatan Kemampuan Nasional

Peningkatan kemampuan nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerjasama dengan operator sebelumnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan migas Internasional. Perlu peningkatan kemampuan perusahaan nasional sehingga menjadi perusahaan multinasional sehingga dari usahanya di luar negeri bisa memasok kebutuhan dalam negeri. (bersambung)

Share This!