Indonesia Sebagai Pusat Keunggulan Panas bumi

Thursday, 29 April 2010 - Dibaca 2789 kali

Oleh : R Sukhyar Indonesia kembali menjadi tuan rumah pertemuan penting dunia. Setelah penyelenggaraan Konferensi Perubahan Iklim pada dua tahun lalu, Indonesia kali ini menggelar Konferensi Panas Bumi se Dunia atau World Geothermal Congress - WGC2010 pada tanggal 25-30 April tahun ini di Bali. Konferensi telah dibuka oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (26/4/2010). WGC sangat bergengsi, mengingat diselenggarakan lima tahun sekali yang dihadiri oleh ribuan peserta. Bahkan untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan WGC, Indonesia harus berkompetisi dengan mengalahkan Jerman dan Islandia. Sedikitnya wakil 80 mendaftar sebagai peserta konferensi. Kepala negara Islandia, menteri energi negara lain, para akademisi dan pengusaha panas bumi dunia menyatakan kehadirannya. Konferensi Perubahan Iklim dan WGC2010 sangat berhubungan erat. Jika Konferensi Perubahan Iklim menekankan pentingnya pengurangan gas rumah kaca, maka WGC2010 mendorong percepatan pengembangan panas bumi untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Sebab panas bumi merupakan sumber energi bersih, ramah lingkungan dan sustainable. Pada pertemuan G-20 Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas karbon sebesar 26 persen hingga tahun 2020. Sumber energi panas bumi sebagian besar berasosiasi dengan jalur gunung api. Secara geologi berada pada daerah tumbukan lempeng tektonik yang menghasilkan jalur gunung api di kawasan Pasifik (Pacific ring of fire), pada pemekaran dasar samudera seperti gunung api di Islandia dan pemekaran benua seperti jalur gunung api di Afrika. Indonesia beruntung memiliki jalur gunung api di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulut dan Maluku. Sedang di Kalimantan Barat, Bangka, Sulawesi Selatan dan Papua bagian utara walaupun tidak dilalui jalur gunung api juga memiliki potensi panas bumi, namun potensinya kecil. Energi panas bumi di jalur gunug api biasanya lebih besar potensinya. Selain untuk pembangkit listrik, panas bumi juga digunakan untuk mengeringkan produk pertanian dan perikanan serta untuk penghangat. Hingga saat ini baru sekitar 9.900 MW listrik yang dihasilkan di dunia. Indonesia yang memiliki potensi panas bumi sebesar 28.000 MW atau sekitar 35 persen dari potensi dunia, memproduksi listrik panas bumi saat ini sebesar 1189 MW atau peringkat ketiga setelah Amerika Serikat (2687 MW) dan Filipina (1968 MW). Sebagai pemilik sumber daya panas bumi terbesar, Indonesia perlu mengambil peran memajukan pengembangan energi panas bumi dunia. Bahkan layak menjadi pusat keunggulan (centre of excelence) pengembangan panas bumi. Keunikan dan keragaman geologi sumber panas bumi di bumi Indonesia perlu digali sehingga bernilai ekonomis, pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan SDM. Dari sisi komersial, mengingat energi panas bumi tidak dapat ditransportasikan maka pengembang panasbumi harus menanggung dua jenis risiko yaitu di sisi hulu dalam pengembangan lapangan dan penyediaan uap panasbumi dan risiko di hilir atau pembangkitan. Sedang pembangkitan dengan sumber energi fosil misalnya, pengembang hanya konsentrasi pada risiko pembangkitan, bahan bakarnya dari mana saja. Kelangsungan usaha panas bumi sangat ditentukan oleh kepastian pembeli dan harga jual listrik atau energi panas bumi. Harus diakui tingginya resiko pengembangan panasbumi menjadi salah satu faktor penghambat pengembangan panas bumi. Peran Pemerintah dalam mengurangi risiko bisnis sangat diharapkan. Pemerintah berkewajiban melakukan survai geosain dan bahkan pengeboran untuk mengetahui cadangan uapnya. Hal serupa juga dilakukan negara lain seperti Jepang, Selandia Baru dan Filipina. Indonesia perlu merebut dana dari lembaga keuangan internasional yang meramaikan pendanaan proyek panas bumi seiring komitment pengurangan pemanasan bumi. Seperti clean investment fund Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang dapat digunakan oleh sektor publik maupun privat. Penyelenggaraan WGC 2010 harus menjadi momentum mendorong mengalirnya dana asing bagi pengembangan panas bumi di tanah air. Selain itu, penyelenggaraan WGC2010, seharusnya menjadi pendorong moral untuk mengatualisasikan komitmen Indonesia bagi percepatan pembangunan listrik panas bumi di dalam negeri. Penyelenggaraan WGC juga bisa dimanfaatkan untuk mengetahui kemajuan ilmu dan teknologi di negara maju, sekaligus memajukan sumber daya manusia panas bumi di Indonesia. Sebab kebijakan percepatan pengusahaan panas bumi harus pula diimbangi oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolgi serta ketersediaan SDM nasional. Beberapa perguruan tinggi saat ini sudah memliki pusat studi kepanasbumian, namun belum cukup karena begitu banyak aspek teknis yang harus ditangani mulai dari sisi eksplorasi, produksi dan pemanfaatan uap panas bumi. Pengembangan panas bumi seharusnya juga menggugah kalangan pabrikan di tanah air. Sebab terdapat peluang besar untuk meningkatkan peran kandungan lokal (local content) dalam industri panas bumi. Baik untuk pembangkit listrik maupun pemanfaatan lain. Kendati masih perlu ditingkatkan penguasaan rancang bangun pembangkit listrik panas bumi sudah dikuasai sejumlah perusahaan lokal seperti PT Rekayasa Indonesia. Harus diakui pengembangan panas bumi Indonesia sejak 1926 belum berjalan secara optimal. Namun, sejumlah terobosan sudah dilakukan Pemerintah beberapa tahun belakangan ini. Antara lain penetapan target 9500 MW listrik panasbumi pada tahun 2025. Apabila terwujud akan menggantikan pemakaian minyak bumi sedikitnya 4 milyar barel selama 30 tahun operasi pembangkit listrik tenaga panas bumi atau setara dengan cadangan terbukti minyak bumi Indonesia saat ini. Target tersebut juga di dorong oleh kebijakan percepatan pembangkitan tenaga listrik tahap kedua yang energi panasbumi sebesar 4000 MW serta penetapan harga jual dari pengembang panas bumi hingga 9,7 cent dolar AS/kWh. Semestinya tidak ada lagi alasan yang menghambat pengembangan panas bumi dari aspek komersil. Apabila dalam 2014 Indonesia dapat mewujudkan keinginannya tersebut, maka Indonesia akan menjadi negara pengguna energi panas bumi terbesar di dunia. Dukungan yang sangat dinanti-nantikan adalah tentang alih fungsi kawasan hutan konservasi untuk penggunaan panas bumi, mengingat karakteristik alami keberadaan panas bumi di elevasi tinggi berpotensi berada pada lahan yang sama dengan hutan konservasi. Selain itu pemerintah daerah yang kini juga dilibatkan dalam proses perijinan juga diharapkan kontribusi dalam percepatan pengembangan panasbumi. Kendati sudah terdapat UU nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi, untuk target jangka pendek harapan besar masih tertuju pada lapangan panas bumi yang dikelola oleh PT Pertamina Geothermal Energi sejak era 1980 an. Sebab sebagian besar merupakan lapangan 'matang' dengan potensi besar dan sudah dilakukan eksplorasi. Sedang lapangan yang dilelang berdasarkan UU tersebut perlu terus didorong untuk bisa cepat bisa diketahui hasilnya mengingat masih harus dilakukan eksplorasi. Catatan : - Penulis adalah Kepala Badan Geologi, Kementerian ESDM - Artikel sejenis telah ditayangkan.di Bisnis Indonesia

Share This!