Logam Tanah Jarang Perlu Perhatian

Friday, 17 May 2013 - Dibaca 7619 kali

BANDUNG - Penelitian mengenai Logam tanah jarang di Indonesia masih belum optimal, apabila ada penelitian mineral tersebut dengan teknologi tinggi, maka akan dapat meningkatkan nilai tambah produk mineral tersebut . Potensi logam tanah jarang di Indonesia diperkirakan sangat besar, baik sebagai produk itu sendiri dan atau mineral/unsur ikutan dari berbagai tambang mineral di Indonesia.

"Sampai saat ini penelitian logam tanah jarang masih belum optimal dan parsial. Setiap instansi terkesan jalan sendiri-sendiri. Tantangannya cukup besar karena material ini tidak ditemukan dalam bentuk bebas, namun dalam bentuk kompleks yang memerlukan pengolahan dengan teknologi. Diperlukan sinergi dalam menelitian logam tanah jarang di dalam negeri dan bila perlu Kepala Puslitbang Tekmira menyiapkan road map." ujar Kepala Badan Litbang ESDM, Sutijastoto saat membuka Focus Group Discussion dengan tema Sinergi Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengolahan dan Pemurnian Mineral Tanah Jarang di Indonesia di Puslitbang Tekmira, Kamis (16/5/2013) kemarin.

Kepala Badan menilai, pemilihan topik ini sangat strategis karena bertepatan dengan momentum peningkatan nilai tambah mineral. Dengan diberlakukannya Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Permurnian Mineral, telah merubah tatanan perdagangan dan ini akan mempengaruhi investor. Pemanfaatan mineral jarang akan terus berkembang dan meningkat dari waktu ke waktu.

Kepala Badan menyayangkan, di Indonesia belum ada penelitian khusus yang menggali potensi dan pemanfaaatan mineral tanah jarang. Apabila ada penelitian mineral dengan teknologi tinggi, maka akan dapat meningkatkan nilai tambah mineral. Kepala Badan berharap dapat bersinergi dengan Badan Geologi untuk memetakan potensi mineral tanah jarang. Pemanfaatan mineral ini juga merupakan peluang bagi Puslitbangtek EBTKE dan diminta untuk memberikan perhatian khusus, karena banyak peralatan dalam pemanfaatan energi terbarukan yang menggunakan bahan dari mineral tanah jarang, salah satunya adalah bahan baku solar cell yang menjadi ikon Kementerian ESDM dalam pemanfaatan energi terbarukan. Sutijastoto menggantungkan harapan agar peneliti berkoordinasi dalam memberikan kontribusi nyata di sektor ESDM.

Pada kesempatan tersebut peneliti Puslitbang Tekmira, I Gusti Ngurah Arda memaparkan potensi logam tanah jarang di Indonesia diperkirakan sangat besar, baik sebagai produk itu sendiri dan atau mineral/unsur ikutan dari berbagai tambang mineral di Indonesia. Tambang logam tanah jarang yang ditemui di Indonesia di antara Timbal dan Grafit di Sumatera Barat, Bauksit di Kalimantan Barat, Timnah dan Kaolin di Bangka Belitung. Tambang Emas berada di Bogor, Banten, Bengkulu, Sumbawa, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat dan Papua, sedangkan Nikel di Sulawesi Barat dan Halmahera.

Beberapa mineral tanah jarang yang banyak ditemukan di Indonesia adalah bijih Timah dengan mineral ikutan Monazite, Xenotime, Zircon dan Ilmenite, bijih Tembaga dengan mineral ikutan Anode Slime, Pasir Besi, bijih Emas dan bijih Bauksit.

Pertumbuhan konsumsi logam tanah jarang di dunia akan terus naik seiring dengan makin beragam dan besar jumlah aplikasi logam tanah di berbagai aplikasi, di antaranya mobil hibrid, baterei, CD, fiber optik, keramik dan beragam katalis. Harganya pun kian merangkak naik. Ngurah Arda mencontohkan, harga Cerium dan Lanthanum naik hingga 200-300% pada tahun 2008 dan cenderung naik dari waktu ke waktu.

Salah satu gambaran pentingnya logam tanah jarang adalah kebijakan pembatasan kuota ekspor Oxida dari pemerintah China. China merupakan salah satu negara produsen Oxida terbesar di dunia. Namun sejak tahun 2007 China menurunkan kuota ekspor Oxida secara bertahap dan pada tahun 2010 kuota tersebut tinggal 50% dibanding tahun 2005. Kebijakan pembatasan kuota ditempuh China untuk melindungi pasokan Oxida dalam negeri karena kebutuhan industri di China yang makin meningkat. Pembatasan ekspor ini membuat kalang kabut industri di Jepang dan Amerika, bahkan kedua negara ini telah mengadukan langkah China tersebut ke WTO. China tidak bergeming dan tetap mempertahankan batasan ekspor Oxida. Hilirisasi industri China sendiri telah berhasil menghasilkan produk dengan value added tinggi.

Di Indonesia sendiri pengelolaan logam tanah jarang masih sedikit. Industri hilir Indonesia belum sepesat China sehingga industri logam tanah jarang Indonesia diharapkan akan meningkatkan hilirisasi industri berbasis mineral dan tidak diekspor berupa bahan mentah.

Industri pengolahan logam tanah jarang di Indonesia masih terhambat sejumlah kendala. Sumber logam tanah jarang berada bersama logam utama hasil tambang, sedangkan sumber sekunder terbawa sisa proses (tailing, filtrat) sehingga lebih sulit diekstraksi. Sumber utama dan sekunder memiliki kadar rendah dan memerlukan konsentrasi khusus. Selain penyebaran tidak merata, l ogam tanah jarang juga memerlukan jalur ekstraksi panjang untuk menghasilkan oksida logam tanah jarang.

Selain presentasi dari perwakilan PT Timah dan Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, acara ini juga membuka diskusi interaktif yang diikuti oleh perwakilan dari BATAN, LIPI, Kementerian Ristek, PT Timah, Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Universitas Indonesia, Universitas Teknologi Bandung ini. Dalam diskusi tersebut, disimpulkan bahwa penguasaan teknologi logam tanah jarang di Indonesia belum dikuasai hingga skala komersial. Penguasaan teknologi oleh para peneliti perlu ditingkatkan meskipun negara yang sudah maju dalam pengembangan logam tanah jarang saat ini masih enggan mengalihkan teknologi kepada Indonesia Para pelaku ekonomi belum memahami kebutuhan pasar logam tanah jarang yang tinggi, sehingga investorpun belum banyak yang berminat. Untuk mengembangkan logam tanah jarang diperlukan kemitraan untuk mensinergikan riset, baik di antara peneliti, pemegang kebijakan maupun para pemangku kepentingan lainnya. (ER)

Share This!