Menimbang Freeport

Tuesday, 5 September 2017 - Dibaca 4240 kali

Perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua, PT Freeport Indonesia, menyatakan sepakat mematuhi ketentuan yang berlaku di Indonesia. Kesepakatan itu adalah divestasi saham 51 persen, membangun smelter, tunduk pada ketentuan pajak yang berlaku, serta patuh pada opsi perpanjangan operasi yang diberikan pemerintah. Kenyataannya, hal itu tak mudah direalisasikan. Misalnya, soal divestasi saham.

Pada 2015, Freeport menawarkan 10,64 persen sahamnya ke Pemerintah RI dengan harga 1,7 miliar dollar AS atau setara Rp 22,6 triliun dengan nilai tukar Rp 13.300 per dollar AS. Pemerintah RI menyebut harga itu terlampau mahal. Berdasarkan penilaian tim dari pemerintah saat itu, 10,64 persen saham yang ditawarkan senilai sekitar 600 juta dollar AS atau Rp 7,9 triliun. Apalagi, Freeport mengakui, harga saham yang ditawarkan itu memasukkan cadangan mineral dengan asumsi kontrak diperpanjang sampai dengan 2041.

Hingga 50 tahun Freeport di Indonesia, saham pemerintah di Freeport Indonesia cuma 9,36 persen. Sempat mengemuka pendapat begini: untuk apa repot-repot membeli saham berharga mahal jika pada 2021, saat kontrak Freeport berakhir, cadangan mineral kembali ke negara? Pendapat di atas tak ada salahnya. Akan tetapi, seperti yang dinyatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, tak memperpanjang operasi Freeport memiliki sejumlah konsekuensi teknis. Disebutkan, pengelolaan tambang bawah tanah yang dioperasikan Freeport terbilang kompleks. Indonesia belum punya referensi pengelolaan tambang bawah tanah serumit Grasberg di dalam negeri.

Membaca lagi kontrak karya PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia yang diteken pada 1991, khususnya Pasal 22 tentang pengakhiran kontrak, pada Ayat 2 disebutkan, semua aset di lokasi tambang yang tidak digunakan sebagai kepentingan umum adalah milik Freeport. Apabila kontrak berakhir, maka aset tersebut harus ditawarkan ke Pemerintah Indonesia. Jika pemerintah menolak, Freeport diberi waktu 12 bulan untuk memindahkan atau menjual ke pihak lain. Jika Freeport menarik semua aset tambang di lapangan, kata sejumlah pakar, hal itu akan berdampak pada kondisi geologi setempat, seperti timbul reruntuhan sebagai akibat penambangan bawah tanah.

Adapun dampak ekonomi dan sosialnya, jika operasi Freeport tak diperpanjang, akan ada jeda waktu sampai tambang itu beroperasi kembali. Jeda itu berupa pengangguran dan kehilangan pemasukan bagi pemerintah daerah. Selama jeda tersebut akan sangat rawan terjadi konflik, baik skala kecil maupun yang lebih besar. Ingat, saat Freeport tak beroperasi dalam beberapa pekan saja terkait pelarangan ekspor konsentrat beberapa waktu lalu, sudah ada kerusuhan kecil, seperti pembakaran kendaraan.

Belum lagi konsekuensi politik. Isu-isu terkait operasi Freeport di Papua kerap dikait-kaitkan dengan isu separatisme, misalnya, kontrak tak diperpanjang, maka akan ada pergolakan.

Dari sejumlah argumen di atas, maka isu teknis, sosial, dan ekonomi, lebih mudah dicerna. Pemerintah tentu tak ingin rakyat Kabupaten Mimika, Papua, menanggung dampak ekonomi dan sosial mengingat 91 persen pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Mimika dan 37,5 persen PDRB Provinsi Papua disumbang operasi Freeport. Perpanjangan operasi bersyarat adalah sebuah jalan tengah. Apa syarat tersebut?

Sebagai pemilik sumber daya, posisi negara harus lebih tinggi dari korporasi, bukan setara, apalagi sebaliknya. Asas bahwa segala kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Indonesia harus untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus dipegang teguh. Pemerintah harus berhati-hati dan cerdik dalam bernegosiasi dengan Freeport. (Aris Prasetyo)

Sumber: harian Kompas,
5 September 2017

Share This!