Pengusahaan Migas di Indonesia dalam Perspektif Kedaulatan Negara Atas SDA (3): Kedaulatan Negara dalam Pengusahaan Migas

Thursday, 22 September 2011 - Dibaca 10211 kali

Oleh: Agus Salim, Biro Hukum dan Humas, Kementerian ESDM

Kedaulatan negara atas Sumber Daya Alam (SDA) adalah kata lain dari "dikuasai oleh negara" atau, untuk meminjam istilah Abrar Saleng, "penguasaan negara atas pertambangan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada tiga kosa kata yang terkait dengan kedaulatan, yaitu daulat; berdaulat; dan kedaulatan yang masing-masing berarti "kekuasaan", "mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara atau daerah", dan "kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya". Dengan demikian, kedaulatan atas SDA berarti kekuasaan tertinggi yang dimiliki negara atas SDA.

Prinsip kedaulatan negara atau hak menguasai oleh negara atas SDA bukanlah sesuatu yang asing dan bahkan telah diakui sepenuhnya oleh hukum internasional sebagaimana dapat dijumpai dalam pelbagai dokumen resmi. Dokumen-dokumen dimaksud, untuk mengutip Achmad Madjedi Hasan, adalah sebagai berikut.

  1. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ("PBB") tanggal 21 Desember 1952 tentang penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi. Dalam resolusi tersebut ditegaskan mengenai hak setiap negara untuk memanfaatkan secara bebas SDA-nya.
  2. Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 14 Deseember 1962, 25 November 1966, dan 17 Desember 1973. Resolusi ini memperluas ruang lingkup prinsip hak permanent sovereignty (penguasaan permanen) atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya yang masih berada dalam yurisdiksi suatu negara.
  3. Resolusi Majelis Umum PBB Tahun 1974 dan Deklarasi tentang pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Program Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States). Resolusi tersebut menegaskan kembali mengenai hak menguasai oleh negara untuk mengawasi kekayaan alamnya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
  4. Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Pasal 1) dan Covenant on Civil Political Rights (Pasal 1) tanggal 16 Desember 1966. Perjanjian ini juga menegaskan mengenai hak suatu negara untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya.
  5. Declaration on the Human Environment Tahun 1972 di Stockholm. Dalam Pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa negara memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan SDA-nya sesuai dengan kebijakan pemeliharaan lingkungannya masing-masing. Dalam pemanfaatan SDA tersebut, negara bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan yang merugikan lingkungan, baik di wilayahnya sendiri, maupun di wilayah negara lain.

Prinsip dikuasai negara atau kedaulatan negara atas migas sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang migas, yaitu Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960) sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001). Setidaknya prinsip dikuasai oleh negara terlihat pada ketentuan-ketentuan berikut.

  1. Migas sebagai SDA strategis merupakan kekayaan nasional dan dikuasai oleh negara (Pasal 4 ayat 1 UU Migas).
  2. Penguasaan oleh negara dimaksud diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (Pasal 4 ayat 2 UU Migas).
  3. Sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, pemerintah membentuk Badan Pelaksana (Pasal 4 ayat 3 UU Migas) untuk melakukan pengendalian dan pengawasan kegiatan usaha hulu di bidang migas (Pasal 1 angka 23 jo Pasal 44 ayat 2 UU Migas) dan Badan Pengatur untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian BBM dan gas bumi dan pengangkutan gas bumi melalui pipa di bidang hilir (Pasal 1 angka 24 jo Pasal 8 ayat 4, Pasal 46, dan Pasal 47 UU Migas).
  4. Kepemilikan SDA tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan (Pasal 6 ayat 2).
Selain UU Migas 2001, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi juga mengisyaratkan prinsip kedaaulatan negara atas SDA. Pasal 6 ayat (3) berbunyi: "Dalam hal krisis energi dan darurat energi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan terganggunya fungsi pemerintahan, kehidupan sosial masyarakat, dan/atau kegiatan perekonomian, Pemerintah wajib melaksanakan tindakan penanggulangan yang diperlukan".

UU Migas 1960 dan UU Migas 2001 secara eksplisit memilih kontrak kerja sama sebagai bentuk hukum pengusahaan di bidang hulu migas. Bedanya, UU Migas 1960 secara tegas dan spesifik menetapkan jenis Kontrak Production Sharing (KPS) sebagai bentuk hukum pengusahaan hulu migas; sedangkan UU Migas 2001 tidak menyebut secara spesifik mengenai jenis kontraknya. Artinya, kegiatan usaha hulu migas dapat dilakukan dalam bentuk KPS maupun jenis kontrak kerja sama lainnya yang menguntungkan negara.

Masalahnya adalah, terutama jika dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara atas SDA, mengapa memilih kontrak kerja sama sebagai bentuk hukum pengusahaan hulu migas? Mengapa, misalnya, tidak memilih izin sebagai bentuk hukum pengusahaan migas seperti halnya dalam pengusahaan mineral dan batu bara atau panas bumi? Bukankah dasar hukum pengusahaan migas, mineral dan batu bara, dan panas bumi bersumber pada ketentuan yang sama, yaitu Pasal 33 UUD 1945 ? Jika di Indonesia terjadi darurat migas, dapatkah negara yang notabene sebagai pemegang kedaualatan atas energi mengambil langkah-langkah kebijakan sebagaimana diamanatkan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, di antaranya membatalkan kontrak migas yang ada?

Share This!