Reformasi Subsidi Energi: Belanja Jadi Lebih Produktif

Wednesday, 13 September 2017 - Dibaca 4835 kali

Sejak 1 Januari 2015, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil langkah untuk secara resmi mengalihkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium. Dengan berlakunya kebijakan tersebut, penentuan harga premium mengacu pada fluktuasi harga minyak dunia yang dievaluasi pada periode tertentu, namun tetap ditetapkan oleh Pemerintah sesuai Undang-Undang.

Pemerintah mempertimbangkan bahwa sebelumnya subsidi BBM jenis premium dinilai tidak tepat sasaran. Subsidi tersebut lebih banyak di konsumsi oleh masyarakat mampu, bukan masyarakat miskin dan rentan miskin. Ditambah lagi, besaran subsidi BBM jenis premium terus menyedot Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan mengambil oportunitas untuk belanja produktif yang lain.

Tentu, kondisi ini tidak sejalan dengan upaya Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo yang ingin menggenjot sektor produktif melalui pembangunan infrastruktur, pendidikan hingga kesehatan. Sehingga, kebermanfaatan pengalihan subsidi dapat dirasakan masyarakat dalam jangka waktu yang panjang.

"Arah subsidi energi dalam APBN harus turun, untuk pembangunan yang adil dan merata," tegas Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam berbagai kesempatan, menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Ego Syahrial. Ia menjelaskan Pemerintah konsisten mengalihkan dana subsidi energi ke program yang lebih produktif. "Pemerintah ini konsisten untuk mengalihkan anggaran yang memang tidak produktif menjadi anggaran yang lebih produktif. Itu selalu konsisten," tegas Ego ditemui di ruang kerjanya, Senin (12/9) kemarin.

Tercatat, besaran angka subsidi BBM terus membengkak dari tahun 2009 hingga 2014. Pada tahun 2014, subsidi BBM sebesar Rp191 triliun. Kemudian menyusut menjadi Rp43,9 trilun (2015) dan Rp18,7 triliun (2016). Jika kita hitung, terjadi penurunan subsidi sebesar Rp172,3 triliun dari tahun 2014 ke 2016. Besaran angka ini yang dialihkan untuk pembangunan yang berkeadilan di berbagai sektor prioritas.

Total, Pemerintah berhasil menekan penurunan susidi energi (BBM, LPG, Listrik) sekitar 64% atau Rp 419 triliun dalam dua tahun terakhir (2015-2016) dibandingkan periode 2 tahun sebelumnya.

Sementara itu, meski mengacu fluktuasi harga minyak dunia, Pemerintah punya konsiderasi sendiri dalam menentukan harga BBM menyesuaikan daya beli masyarakat dan inflasi. Misalnya, Pemerintah memutuskan tidak akan mengubah harga Premium dan Solar hingga akhir September 2017. Harga Bensin Premium (BBM khusus penugasan) tetap dijaga di kisaran Rp6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp5.150 per liter.

"Pemerintah memutuskan untuk tidak ada kenaikan harga BBM khususnya premium RON 88 serta solar atau biosolar mulai 1 Juli 2017 sampai 30 September 2017. Jadi, tiga bulan ke depan tidak ada kenaikan harga BBM sama sekali," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka Jakarta, Juni lalu.

Lantas, kenapa Pemerintah tetap mempertahankan harga tersebut, bukan mengacu harga keekonomian sepenuhnya? Bukankah justru berisiko apabila harga minyak dunia merangkak naik?

Berkaca dari penetapan harga bensin premium April 2017, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa terdapat laba bersih penjualan BBM tahun 2016 sebesar Rp1,8 triliun. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah untuk tidak menaikkan harga premium dan solar bersubsidi. Walaupun, penjualan premium defisit mencapai Rp967 miliar karena dijual di bawah harga keekonomian, namun tertutupi penjualan solar bersubsidi dengan laba Rp2,849 triliun.

"Masih aman karena ada sisa laba tahun lalu. Tak perlu dinaikkan," ujar Jonan seperti dilansir Kompas (17/3), di Jakarta, saat ditanya tentang perlu tidaknya harga premium dan solar dinaikkan.

Dampak Pengalihan Subsidi

Pengalihan subsidi BBM merupakan keputusan tepat dan memiliki berbagai dampak positif antara lain, pertama, tetap memberikan ruang bahwa penetapan APBN adalah sebuah keputusan politik, yaitu dalam hal memutuskan berapa alokasi belanja APBN berdasarkan asumsi-asumsi yang telah ditetapkan. Berdasarkan alokasi ini, dengan mempertimbangkan estimasi volume konsumsi BBM, maka dapat dihitung berapa subsidi Pemerintah terhadap harga BBM per liternya. Mekanisme ini dilakukan dalam mekanisme pembahasan APBN dan akan ditinjau ulang dalam pembahasan APBN-Perubahan.

Kedua, mekanisme penyesuaian harga BBM yang dilakukan dalam tiga bulan akan mengeliminasi reaksi harga-harga komoditas lain yang berlebihan, yang biasanya dipengaruhi oleh faktor psikologis kenaikan harga BBM yang relatif besar. Dengan demikian, tidak akan terjadi tekanan risiko inflasi.

Ketiga, formulasi harga BBM ini masih sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 002/PUU-1/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menerbitkan PP No. 30/2009 tentang Perubahan atas PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi yang mengubah pasal 72 menjadi berbunyi: "Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah."

Keempat, kepemimpian Jokowi-JK bergerak cepat untuk melakukan reformasi struktur APBN, menggeser alokasi belanja konsumtif menjadi belanja lebih produktif. Meski begitu, Pemerintah tidak menghilangkan perhatian kepada masyarakat miskin dan rentan miskin. Kementerian ESDM tetap mengalokasikan dana subsidi (solar, LPG dan minyak tanah) pada golongan tersebut.

"Prinsipnya, Pemerintah hanya mensubsidi solar, minyak tanah dan LPG karena tiga komoditas ini yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat (kelas bawah). Sementara pemberian subsidi Premium kurang tepat sasaran," tegas Ego.

Lebih lanjut, Ego menyatakan "Kita ini sedang gencar bersama Kementerian Sosial agar subsidi ini betul-betul larinya ke rakyat. Jangan sampai masyarakat yang tidak dalam kategori miskin maupun rentan miskin itu punya kesempatan untuk mendapatkan (subsidi) itu," ungkapnya. (NA)

Share This!