Pengusahaan Migas di Indonesia dalam Perspektif Kedaulatan Negara Atas SDA (1): Pendahuluan

Tuesday, 20 September 2011 - Dibaca 10888 kali
Oleh: Agus Salim, Biro Hukum dan Humas, Kementerian ESDM

Bahan galian minyak dan gas bumi (migas) yang terdapat di dalam bumi Indonesia adalah sumber daya alam strategis yang sangat penting bagi negara. Sampai dengan saat ini subsektor migas masih sebagai penyumbang terbesar penerimaan negara. Untuk tahun 2010, misalnya, penerimaan negara dari subsektor migas diperkirakan sebesar Rp. 219,2 triliun (melebihi target APBN-P 2010 sebesar Rp. 215 triliun), terdiri atas PPh migas Rp. 58,9 triliun, PNBP migas Rp. 152,05 triliun, dan PNBP lainnya Rp. 8 triliun.

Meskipun saat ini Indonesia telah berubah dari negara net oil exporter menjadi net oil importer sebagai akibat meningkatnya konsumsi dalam negeri yang tidak diimbangi dengan kenaikan produksi, subsektor migas sampai dengan saat ini (dan tampaknya pada tahun-tahun ke depan) masih diyakini sepenuhnya sebagai penyumbang devisa negara yang cukup signifikan. Optimisme ini setidaknya didasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut: pertama, ketersediaan cadangan energi yang besar; kedua, pertumbuhan kebutuhan energi yang cukup tinggi; ketiga, komitmen pemerintah terhadap penciptaan iklim bisnis yang kondusif di sektor minyak dan gas bumi; keempat, restrukturisasi dan deregulasi industri migas nasional yang memungkinkan adanya kompetisi pasar yang sehat dan transparan.

Oleh sebab itu, migas sebagai komoditas strategis dan penyumbang devisa negara yang cukup signifikan harus dikelola seoptimal mungkin sehingga dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 UUD 1945 sama sekali tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa pengusahaan migas harus dituangkan dalam bentuk kontrak tertentu. UUD 1945 hanya menyebutkan prinsip-prinsipnya saja, yakni (i) "dikuasai oleh negara" dan (ii) "dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Ini berarti bahwa konstitusi memberi peluang kepada penyelenggara negara atau pemerintah untuk menggunakan bentuk kontrak apa pun dalam pengusahaan migas di Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar tersebut di atas.

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001), pengusahaan migas di Indonesia dituangkan dalam bentuk (a) Kontrak Karya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960) dan (b) Kontrak Production Sharing sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU PERTAMINA). Salah satu perbedaan prinsip antara Kontrak Karya dan Kontrak Production Sharing terletak pada pembagian pendapatan dari hasil minyak dan gas bumi. Pada Kontrak Karya, yang dibagi adalah hasil penjualan minyak dan gas bumi; sedangkan pada Kontrak Production Sharing yang dibagi adalah hasil produksi minyak dan gas bumi.

Era Kontrak Karya berakhir bersamaan dengan berakhirnya Kontrak Karya antara PN Permigas dan PT Shell pada 1993. Sementara itu, Kontrak Production Sharing semakin berkembang dan menjadi satu-satunya bentuk kontrak kegiatan usaha hulu migas di Indonesia sampai kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001).

Sejak diundangkannya UU Migas 2001, Kontrak Production Sharing tidak lagi menjadi satu-satunya bentuk kontrak di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Pasal 11 ayat (1) UU Migas 2001 menyebutkan bahwa kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan dalam bentuk kontrak kerja sama. Dengan kata lain, bentuk kontrak di bidang kegiatan usaha hulu migas dapat berupa Kontrak Production Sharing atau bentuk kontrak kerja sama lainnya, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip "dikuasai oleh negara" dan "dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Share This!