Hasil Perundingan Pemerintah-Freeport: Negara Makin Berdaulat di Negeri Sendiri

Kamis, 31 Agustus 2017 - Dibaca 3369 kali

JAKARTA - Perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (FI) telah memasuki babak klimaksnya. Semenjak diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2017 tentang Perubahan Keempat PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan aturan turunannya, menunjukan Indonesia yang semakin berdaulat diatas negeri sendiri. Kedudukan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga semakin tercermin di PP ini.

Menilik sedikit ke belakang, polemik pengelolaan wilayah tambang Timika oleh PTFI telah berlangsung cukup lama. Pada tahun 2014, Pemerintah mengeluarkan PP No. 77/2014 yang merupakan perubahan ke 3 dari PP No. 23/2010. Dalam peraturan ini, Freeport wajib melakukan divestasi minimal 30%, membayar bea keluar dan wajib membangun fasilitas pemurnian/smelter. Pada faktanya, Freeport belum juga menyelesaikan fasilitas pemurnian sesuai kapasitas tertentu sebagaimana mestinya hingga tahun 2017. Hingga kini, baru 9,36% saham PTFI yang dikuasai pemerintah Indonesia.

Namun dengan diterbitkannya PP No 1/2017, Pemerintah mewajibkan divestasi sebesar 51% atau lebih besar dari minimal 30% sebagaimana diamanatkan PP No. 77/2014, setelah 50 tahun lebih perusahaan raksasa tersebut mengeruk kekayaan tambang Pulau Papua, Indonesia.

Status Freeport yang semula berupa Kontrak Karya (KK) dan memiliki kedudukan sama dengan pemerintah pun kini telah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dimana negara sebagai pemberi izin memiliki posisi lebih tinggi terhadap perusahaan pemegang izin. "Landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan Freeport akan berupa IUPK, bukan berupa KK. Ke depan tidak ada lagi KK, tapi IUPK. Ada stabilitas penerimaan negara yang besarannya akan lebih baik dari pada KK", ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan.

Freeport juga diwajibkan membangun smelter yang proses pembangunannya diverifikasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. "PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama 5 tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur", jelas Menteri Jonan.

Selain hal diatas, dengan adanya jaminan fiskal dan hukum, penerimaan negara yang diterima akan lebih besar bila dibandingkan dengan KK. Ini membuktikan bahwa penyelesaian perundingan secara baik bersama PT Freeport menunjukan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah untuk menjaga kedaulatan sumber daya mineral Indonesia. "Hasil perundingan ini sesuai dengan instruksi Bapak Presiden Joko Widodo untuk mengedepankan kepentingan nasional, kepentingan rakyat Papua, kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, serta menjaga iklim investasi tetap kondusif," pungkas Jonan. (IW)

Bagikan Ini!