Kopi Senja Eps 2: Kupas Tuntas CCS/CCUS

Jumat, 1 Juli 2022 - Dibaca 459 kali

Jakarta, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi kembali menyelenggarakan Kopi Senja Sharing Session di Ruang Perpustakaan Ditjen Migas, Jakarta, Rabu (29/6). Pertemuan kedua ini membahas mengenai Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization and Storage (CCS/CCUS) dengan menghadirkan dua narasumber yaitu Fahrur Rozi Firmansyah dari Direktorat Teknik dan Lingkungan Migas, serta Dadan Damayandri S dari Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi "Lemigas".

"Kegiatan ini sifatnya sharing, dengan harapan agar pengetahuan yang dimiliki dapat dibagi dengan rekan-rekan lainnya. Jadi semuanya tahu, bukan hanya satu atau dua orang saja," ujar Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Mirza Mahendra mengawali acara ini.

Pembicara satu yaitu Fahrur Rozi Firmansyah menyampaikan mengenai Pengembangan CCS/CCUS di Indonesia. Dipaparkan, sesuai Paris Agreement, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyusun roadmap transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 dengan upaya pengembangan EBT, retirement PLTU, pemanfaatan hidrogen, baterai, kendaraan listrik, gas kota, BBG, juga teknologi rendah karbon seperti CCS/CCUS.

Secara singkat, CCS/CCUS merupakan penangkapan CO2 pada gas buang dari berbagai sumber seperti migas atau lainnya dengan menggunakan teknologi yang ada, selanjutnya dimurnikan dan dikompresi untuk diangkut ke lokasi injeksi seperti lapangan migas atau aquifer, sebagai upaya untuk meningkatkan produksi migas.

"Jadi CO2 kita injeksikan dan ini berpotensi mendorong produksi migas. CO2 bisa juga dimanfaatkan untuk produksi material bangunan, chemcal, plastik dan mineralisasi," jelasnya.

Tidak hanya dari industri, lanjut Fahrur, saat ini telah ada teknologi menangkap CO2 dari atmosfir untuk kemudian diinjeksikan atau dimanfaatkan.

CCS/CCUS menjadi salah satu alternatif untuk pengurangan emisi global lantaran berdasarkan Roadmap IEA untuk NZE 2050 di sektor energi, teknologi CCUS akan berkontribusi lebih dari 10%. Sedangkan di Asia Tenggara, kebutuhan CCS/CCUS mencapai 35 juta tCO2 pada tahun 2030 dan lebih dari 200 juta tCO2 pada tahun 2050. Indonesia memiliki sumber-sumber CO2 di banyak lapangan migas, seperti Aceh dan Natuna.

Lebih lanjut Fahrur menjelaskan perbedaan antara EOR/EGR dan CCUS. Dikatakan, berbeda dengan kegiatan injeksi untuk EOR/EGR umumnya, pada kegiatan CCS/CCUS harus dipastikan tidak ada risiko kebocoran sehingga CO2 yang diinjeksikan dapat tersimpan secara permanen.

Potensi penyimpanan CO2 di Indonesia sekitar 2 giga ton CO2 yang tersebar di beberapa wilayah, di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua. Dan potensi saline aquifer 9,68 giga ton CO2 dari cekungan Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 10 proyek CCS/CCUS di mana Proyek Tangguh EGR/CCS menjadi yang paling maju dan diharapkan tahun 2026 sudah dapat beroperasi. "Proyek-proyek CCS/CCUS di Indonesia masih dalam tahap studi/persiapan. Namun sebagian besar ditargetkan beroperasi sebelum 2030," tambahnya.

Untuk mendukung pengembangan CCS/CCUS, Pemerintah telah menyusun Rancangan Permen ESDM tentang CCS/CCUS dengan fokus CCS/CCUS pada wilayah kerja migas, menekankan aspek teknis sesuai standar dan kaidah keteknikan yang baik dengan memperhatikan karakteristik lokasi (site specific), serta membuka peluang monetitasi dari kegiatan tersebut.

Rancangan aturan ini juga telah mendapat masukan dari Kemenko Marves, KLHK, serta lembaga internasional dari Inggris, Australia, Korea Selatan, Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Norwegia dan Singapura.

Terkait biaya CCS/CCUS, menurut Fahrur, tergantung pada jenis kegiatan yang menjadi sumber CO2, lokasi injeksi (offshore/onshore) dan metode/teknologi yang digunakan. "Biaya paling besar dari kegiatan CCS/CCUS adalah untuk CO2 capture," kata dia.

Sementara Dadan Damayandri S dari Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi "Lemigas", memaparkan bahwa pada proses CCS/CCUS skala komersial di seluruh dunia, hingga saat ini sudah ada 21 fasilitas CCUS yang didominasi oleh kegiatan migas, khususnya untuk CO2 EOR. "Terkait biaya, apabila satukan CO2 dengan EOR akan mengurangi biaya secara signifikan karena ada penambahan benefit yaitu penambahan perolehan minyak. Selain itu juga bisa di-storage," tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Dadan juga menjelaskan mengenai mekanisme CO2 trapping yaitu physical barrier (caprock), solubility trapping, capillary trapping/residual saturation dan mineral trapping.

Studi mengenai CCS/CCUS telah dilakukan Lemigas sejak 2003-2005, bekerja sama dengan Sojitz & Mitsubishi. Setelah itu, kerja sama juga dilakukan dengan berbagai perusahaan dan institusi seperti Shell, ADB, Pertamina dan Japex. (TW)