Tingkatkan Implementasi SPIP, Ditjen Migas Gelar Pembahasan Risk Register Titik Rawan Gratifikasi

Kamis, 31 Maret 2022 - Dibaca 251 kali

Bekasi, Dalam rangka peningkatan implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) tingkat unit organisasi sebagai penguatan internal dari resiko gratifikasi dan korupsi, Direktorat Jenderal Minyak dan gas Bumi menyelenggarakan Pembahasan Matriks Risk Register Titik Rawan Gratifikasi Ditjen Migas Tahun Anggaran 2022 di Harris Hotel & Conventions Bekasi, Kamis (31/3).

Kegiatan dibuka oleh Sesditjen Migas Alimuddin Baso dan dihadiri oleh Koordinator, Subkoordinator dan Pejabat Pembuat Komitmen (P2K), Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa (PPBJ), serta Tim Government Risk and Compliance Ditjen Migas. Acara ini terbagi dua agenda yaitu Sharing Session Penerapan Manajemen Risiko Titik Rawan Gratifikasi dengan narasumber Mutiara Carina Artha Rizky selaku Group Head I PPG dan Anjas Prasetiyo (Fungsional Pemeriksa Gratifikasi) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta pembahasan Matriks Titik Rawan Gratifikasi Ditjen Migas.

Sesditjen Migas Alimuddin Baso dalam sambutannya mengatakan, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) diselenggarakan dengan tujuan tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, laporan keuangan handal, pengamanan aset dan ketaatan terhadap peraturan perundangan-undangan, dengan fokus penilaian maturitas pada tingkat eselon I.

Sesuai Peraturan BPKP/Perban Nomor 5 Tahun 2021, maturitas penyelenggaraan SPIP Tahun 2021 mengalami integrasi perubahan komponen penilaian. Di mana pada tahun sebelumnya, komponen penilaian hanya pada struktur dan proses, mulai tahun ini komponen penilaian diukur dari 3 dengan 2 komponen tambahan. Dan beberapa subunsur baru pada penilaian struktur dan proses terkait kebijakan pengendalian korupsi dan pengendalian korupsi dan partisipasi pegawai dalam program antikorupsi.

"Saat ini, Ditjen Migas telah menyusun Matriks Titik Rawan Gratifikasi. Ditjen Migas akan terus melakukan monitoring dan pengembangan secara berkala, juga melakukan inovasi di bidang manajemen risiko dalam rangka meningkatkan maturitas SPIP," jelas Alimuddin.

Sesditjen Migas mengharapkan agar paparan yang disampaikan kedua narasumber dari KPK tersebut, dapat memberi insight baru berupa inovasi pengelolaan risiko khususnya titik rawan gratifikasi guna membantu peningkatan awareness pegawai Ditjen Migas akan antikorupsi dalam menjalankan kinerja rutin.

Sedangkan pada agenda pembahasan matriks, diharapkan dapat menyempurnakan matriks dari berbagai bidang kerja berupa pengadaan barang dan jasa, perizinan, pelayanan dan pengawasan. "Penyusunan matriks ini diharapkan mendapat masukan dari para pegawai pelaku bidang kerja tersebut," imbuhnya.

Alimuddin melanjutkan, pada tahun 2022 Ditjen Migas mendapatkan anggaran sekitar Rp2 triliun di mana mayoritas digunakan untuk pembangunan infrastruktur publik. Dari sisi pengelolaan, P2K harus dapat menjaga tata kelola dengan baik dan harus bekerja sama dengan para pelaksana agar proyek dapat rampung tepat waktu. "Kolaborasi positif dengan para pelaksana harus dilakukan agar proyek selesai tepat waktu dan kalau ada kendala di lapangan harus segera merespon. Termasuk pengawasan pengadaan barang dan jasa," tegas Alimuddin.

Berdasarkan risiko, kata dia, kesulitan yang dihadapi bukan dari pengadaan barang dan jasa karena relatif terukur, melainkan dari sisi pelayanan publik. "Tidak ada yang sempurna. Namun kita selalu melakukan perbaikan dan inovasi agar pelayanan publik semakin baik," tutupnya.

Manajemen Risiko Titik Rawan Gratifikasi
Sementara Mutiara Carina Artha Rizky selaku Group Head I PPG Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan tentang Manajemen Risiko dan Pemetaan Titik Rawan Gratifikasi. Disampaikan, risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa, baik yang dapat diperkirakan maupun yang tidak dapat diperkirakan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pencapaian tujuan/sasaran, visi dan misi instansi. "Risiko adalah suatu ketidakpastian dari suatu kejadian yang berpotensi memberikan dampak negatif terhadap pencapaian tujuan suatu kegiatan," katanya.

Mengenai manajemen risiko, lanjut Mutiara, seringkali ditafsirkan bahwa manajemen risiko adalah menghilangkan risiko. Ini penafsiran yang kurang tepat karena pada dasarnya risiko tidak dapat dihilangkan bila kita ingin memperoleh hasil atau return.

Tujuan manajemen risiko adalah mengenali seberapa besar risiko yang dihadapi dan bagaimana mengelolanya dan diidentifikasi secara seksama. Tidak semua instansi telah melaksanakan mitigasi dengan baik.

Ciri-ciri adanya budaya risiko pada organisasi, antara lain setiap pegawai memikirkan dan berusaha mengantisipasi konsekuensi risiko-risiko yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, selalu mengkomunikasikan ke seluruh bagian organisasi yang terkait atas berbagai risiko yang mungkin terjadi.

Ciri lainnya adalah setiap karyawan proaktif dalam mengidentifikasi risiko-risiko yang ada di lingkup area kerjanya, serta komitmen dan keteladanan pemimpin. "Kalau pimpinan tidak memberikan contoh yang baik, maka bawahannya akan mengikuti. Kita harus menanamkan pada diri sendiri bahwa dari hal-hal kecil dapat membawa risiko. Karena itu harus bisa diantisipasi lebih dini," jelasnya.

Sedangkan mengenai gratifikasi, menurut Mutiara, sebagai abdi negara, banyak menerima tawaran gratifikasi. Risiko penerimaan gratifikasi harus dikelola melalui edukasi, pencegahan, identifikasi atau penindakan, regulasi, implementasi dan pengawasan.

Sementara Anjas Prasetiyo selaku Fungsional Pemeriksa Gratifikasi KPK, menjelaskan bahwa pemetaan titik rawan gratifikasi merupakan rangkaian kegiatan manajemen risiko gratifikasi dalam upaya pengendalian gratifikasi di instansi.

Identifikasi dan analisis risiko gratifikasi terbagi tiga yaitu mengenali kegiatan/aktivitas pada instansi yang berpotensi terjadi penerimaan gratifikasi, memberikan penilaian tingkat kemungkinan terjadinya potensi tersebut dan memberikan penilaian terhadap dampak yang ditimbulkan apabila potensi tersebut benar-benar terjadi.

Setelah ketiga hal tersebut dilakukan, dilakukan respon terhadap risiko gratifikasi, seperti merespon potensi risiko dengan membentuk lingkungan pengendalian melalui regulasi, implementasi atau pengawasan yang relevan dengan munculnya potensi risiko. "Banyak di instansi Pemerintah, pengawasan terhadap praktik gratifikasi masih kurang. Ada banyak alasan hal itu bisa terjadi, misalnya dinilai menambah beban pekerjaan. Padahal pengendalian gratifikasi merupakan pengendalian korupsi. Jadi tidak bisa dipisahkan," urainya.

Apabila lingkungan pengendalian yang sudah diterapkan belum cukup mengatasi potensi tersebut, maka perlu dilakukan atau direncanakan perbaikan.

Gratifikasi menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. "Sekarang kita juga mengenai uang elektronik seperti gopay, ovo, kripto atau lainnya. Itu bisa dikatakan bentuk gratifikasi ketika diberikan kepada pegawai negeri atau abdi negara," tambahnya.

Terhadap gratifikasi ilegal atau yang dianggap suap, abdi negara wajib melaporkan ke KPK maksimal 30 hari kerja. "Pelaporan gratifikasi bukan membahayakan kita, sebaliknya melindungi dari sanksi hukum," tukas Anjas. (TW)