Akselerasi Tatakelola Migas Nasional (1)

Senin, 24 Oktober 2011 - Dibaca 6805 kali

Oleh: Widjajono PartowidagdoTerdapat beberapa anggapan yang keliru mengenai energi di Indonesia diantaranya: 1. Indonesia adalah Negara yang kaya minyak, padahal tidak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, CBM (Coal Bed Methane), panas bumi, air, BBN (Bahan Bakar Nabati) dan sebagainya, 2. harga BBM (Bahan Bakar Minyak) harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal ini menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi harga BBM, ketergantungan kita kepada BBM yang berkelanjutan serta kepada impor minyak dan BBM yang makin lama makin besar serta makin sulitnya energi lain berkembang, 3. investor akan datang dengan sendirinya tanpa perlu kita bersikap bersahabat dan memberikan iklim investasi yang baik, 4. peningkatan kemampuan Nasional akan terjadi dengan sendirinya tanpa keberpihakan Pemerintah.Potensi Energi Nasional 2008 (Sumber: ESDM 2009) diberikan pada Tabel 1 yang terdiri dari energi fosil dan energi non fosil. Terlihat bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 milyar barel. Justru, kita lebih banyak memiliki energi non minyak. Indonesia memproduksi minyak sebesar 357 juta barel, mengekspor minyak mentah sebesar 146 juta barel, mengimpor minyak mentah sebesar 93 juta barel dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 153 juta barel pada tahun 2008 (Sumber ESDM 2009) dan mengkonsumsi 457 barel. Terdapat defisit sebesar 100 juta barel per tahun. Cadangan terbukti minyak kita hanya 3,7 milyar barel atau 0,3 % cadangan terbukti dunia. Sebagai Negara net importer minyak dan yang tidak memiliki cadangan terbukti minyak yang banyak, kita tidak bijaksana apabila mengikuti harga BBM murah di Negara-negara yang cadangan minyaknya melimpah.Tabel 2 memperlihatkan Produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas (Sumber: BP Migas 2010). Dapat dilihat bahwa penemuan cadangan minyak sedikit sekali mulai tahun 2003, Akibatnya, produksi kita turun menjadi dibawah 1 juta barel per hari. Memang biaya (Cost Recovery) meningkat dari tahun ke tahun berikutnya, tetapi Harga Minyak, Gross Revenue, Revenue to Cost Ratio dan Penerimaan Negara juga meningkat dari tahun ke tahun berikutnya.Cadangan dan produksi minyak yang turun tidak dapat diinterpretasikan dengan minyak kita sudah habis atau prospek eksplorasi di Indonesia rendah, karena di Malaysia telah ditemukan prospek Kikeh di laut dalam dengan cadangan 1 Milyar BOE (Barrel of Oil Equivalent) sehingga laut dalam di Indonesia terutama selat Makasar menjadi perhatian perusahaan-perusahaan raksasa. Proyek-proyek raksasa LNG (Liquefied Natural Gas) di Australia yang sedang dikembangkan adalah Evans Shoal, Gorgon, Ichthys, Pluto, Browse dan Bay Undan, sedangkan di Indonesia hanya Tangguh. Perlu dicatat bahwa Australia termasuk low risk dan Malaysia adalah medium risk. Informasi ini diperoleh dari Top 135 Projects yang diterbitkan oleh GSRI, 2007.5 Tingginya resiko di Indonesia mengakibatkan perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada, akibatnya produksi turun. Perlu usaha untuk memperbaiki keadaan tersebut degan mengundang investor guna meningkatkan cadangan dan produksi migas di Indonesia.Mengundang investor adalah seperti mengundang pelanggan untuk rumah makan. Seseorang akan menjadi pelanggan apabila dia tahu, sehingga promosi penting. Promosi saja tidak cukup karena pelanggan tersebut tidak akan datang lagi apabila yang dipromosikan tidak sesuai dengan kenyataan. Rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, harganya bersaing, pelayanannya dan lingkungannya baik. Perlu Peningkatan Kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan, dengan seismik serta studi geofisika dan geologi yang lebih baik.Harga bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang menarik. Kontrak bagi hasil dan Kontrak lainnya akan bermasalah apabila tidak dijiwai kemitraan (partnership) atau pelayanannya tidak baik. Perlu sistem fiskal yang fleksibel dan lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan Bagian Pemerintah atau GT (Government Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane) supaya Kontraktor lebih bersemangat untuk mengembangkan prospek perminyakan biaya tinggi seperti daerah terpencil dan laut dalam, proyek EOR dan lapangan-lapangan yang menengah dan kecil seperti di Malaysia dan Negara-negara lain.Pada masa lalu sistem fiskal yang Bagian Pemerintahnya tetap berapapun keuntungannya tidak mempunyai masalah karena kegiatan-kegiatan dilakukan di daratan dan laut dangkal, primary recovery dan lapangan yang relatif besar.Kontrak Bagi Hasil memerlukan perlakuan lex specialist karena Pemerintah mendapat bagian yang sangat tinggi yaitu 85 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas dari Pendapatan Bersih yaitu Revenue dikurang Cost Recovery. Sebaiknya, tidak dikenakan pungutan-pungutan tambahan. Cost recovery adalah untuk meningkatkan produksi dan dibayar oleh pendapatan dari produksi yang juga berlaku di pajak biasa. Membatasi cost recovery dapat membatasi produksi. Eksplorasi belum tentu menemukan minyak. Mengenakan pajak pada waktu eksplorasi akan menurunkan peringkat investasi Indonesia. Perlu peningkatan pelayanan untuk Penawaran Wilayah Kerja dan POD Pertama serta untuk Persetujuan WP&B dan POD. Perlu diatasi permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu: 1. Pembebasan Tanah 2. Kehutanan 3. Masalah perijinan dan biokrasi, 4. Desentralisasi, 5. Koordinasi Pembebasan tanah sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dan Kontraktor yang membayarnya. Dalam pandangan sebagian Masyarakat, Kontraktor itu kaya dan serakah sehingga selayaknya dimintai sebanyak-banyaknya.Perlu disadari kegiatan Migas dan Panasbumi tidak seperti kegiatan Pertambahan Umum yang mengelupas tanah sehingga membutuhkan lahan yang luas. Disini kegiatannya adalah mengebor tanah. Pada waktu diskusi Panasbumi di Universitas Udayana Bali didapat informasi bahwa Proyek Panasbumi di Bedugul hanya membutuhkan lahan seluas 80 hektar. Lebih baik Perusahaan Migas diperbolehkan untuk melakukan kegiatan di hutan tetapi diberi tugas untuk membantu menanam pohon disitu.Perlu disadari bahwa perusahaan yang melakukan pemboran di laut selalu berpindah. Misal, sekarang di Indonesia, kemudian ke Vietnam dan berikutnya ke Afrika. Cabotage yang mengharuskan kapal yang beroperasi di Indonesia harus berbendera di Indonesia mempersulit usaha perminyakan di offshore. Padahan 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri dari laut.Di Indonesia ada sindiran: "Kalau bisa dipersulit kenapa tidak".3 Ijin kadang-kadang dipersulit dengan maksud supaya mendapat upeti sehingga biaya menjadi lebih mahal. Disamping itu Perusahaan Multinasional kebanyakan melarang penyogokan sehingga Ijin menjadi berlarut- larut.Desentralisasi (kewajiban dan dana) sebaiknya tidak hanya berhenti di tingkat elit saja. 40% Bagian Kabupaten Penghasil (40% Bagian Daerah) sebaiknya diberikan ke Kecamatan Penghasil, lebih lanjut 40% Bagian Kecamatan Penghasil diberikan ke Kelurahan Penghasil sehingga rakyat bisa menikmati manfaat dari kegiatan migas di depan matanya. Akibatnya rakyat akan mendukung dan bukan menghambatnya.Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri dan lain lain) serta antar Pusat dan Daerah dan antar Daerah di bidang migas.Peningkatan Kemampuan Nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerjasama dengan Operator sebelumnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan migas Internasional.Lapangan-lapangan yang sudah ditemukan tetapi tidak mulai dikembangkan dalam waktu tertentu (misal: 5 tahun) dikembalikan kepada pemerintah. Hal ini mempertegas Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2008 yang meminta kontraktor untuk melepaskannya (carved out) lapangan yang tidak diproduksikan dan kemudian dioperasikan oleh perusahaan terpilih yang bersedia memproduksikannya. Perlu diketahui bahwa di Indonesia banyak terdapat lapangan yang tidak dikembangkan, bukan karena tidak ekonomis tetapi karena tidak masuk prioritas (portofolio) perusahaan. Padahal lapangan tersebut kalau dikerjakan oleh perusahaan lain (terutama nasional) masih sangat menguntungkan. Hal ini akan meningkatkan produksi migas kita dan meningkatkan kemampuan nasional.Perlu dijajagi kemungkinan Kerjasama Energi di Luar Negeri baik untuk minyak dan gas. Untuk minyak dengan Negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Untuk gas misal dengan Iran yang memiliki cadangan gas nomor dua terbesar di dunia yaitu 982 TCF, Algeria 159 TCF, Nigeria 187 TCF sedangkan Indonesia mempunyai pengalaman memproduksikan gas dan LNG lebih dari 30 tahun. Dengan membantu memproduksikan gas dan LNG dari Iran, Algeria, Nigeria dan negara-negara lain. maka Indonesia bisa mendapatkan Bagi Hasilnya sehingga dapat mengimpor gas. Lebih baik mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM karena harganya lebih murah. Perlu dicatat Negara tetangga kita, Australia, mempunyai cadangan gas 89 TCF dengan penduduk sedikit. Syarat untuk mengimpor gas adalah adanya LNG Receiving Terminal.Kontrak Karya seyogyanya tidak diberikan pada pihak asing dan hanya diberikan untuk membantu peningkatan kemampuan BUMN, BUMD, swasta nasional, dan koperasi.Dihilangkan monopoli di sektor hilir hendaknya tidak menyebabkan lemahnya kontrol pemerintah atas pemasokan bahan bakar minyak untuk kepentingan masyarakat misalnya dengan peraturan bahwa paling tidak 51% pemasokannya masih dilakukan oleh BUMN dan dengan peraturan yang mendukung peningkatan kemampuan nasional di sektor tersebut. Hal ini perlu dilakukan supaya tidak terjadi monopoli sektor hilir oleh pihak asing.Perlu adanya keberpihakan yang adil bagi swasta nasional penunjang kegiatan migas. Persyaratan lelang yang diskriminatif (misalnya harus dalam skala ekonomi yang besar) dalam pengadaan jasa dan barang dapat mengakibatkan hambatan untuk ikut (barrier to entry) untuk mereka yang lebih baru atau lebih kecil modalnya yang biasanya adalah swasta nasional. (bersambung)

Bagikan Ini!