Pakar Katalis ITB: Indonesia Pemrakarsa Co-Processing CPO ke Green-Fuel Komersial

Sabtu, 22 Desember 2018 - Dibaca 2306 kali

PLAJU - Pakar katalis Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Subagjo mengungkapkan Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang telah mengimplementasikan Co-Processing Crude Palm Oil (CPO) menjadi Green Gasoline dan Green Liquified Petroleum Gas (LPG) untuk skala komersial.

"Sebuah capaian yang sangat membanggakan dimana Indonesia merupakan negara pertama di dunia yg berhasil melakukan co-processing green-gasoline untuk skala komersial" ungkap Subagjo saat di kilang Residue Fluidized Cracking Catalityc Unit (RFCCU) Refinery Unit (RU) III Pertamina Plaju pada Jumat (21/12).

Pelaksanaan Co-Processing dilakukan dengan cara menginjeksi Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil (RBDPO) hingga 7,5% on feed, dimana produk utama yang dihasilkan adalah green-gasoline, green-LPG dan green-propylene dalam persentase yang lebih kecil. Plant test dilaksanakan selama 7 hari operasi injeksi RBPDO menggunakan dana internal Pertamina.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Andriah Feby Misnah menegaskan uji coba ini sebagai era baru bagi industri Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia.

"Pembuktian teknologi co-processing di kilang Pertamina ini akan mengantarkan Indonesia pada era baru industri BBN yang diharapkan ke depan mampu memproduksi secara komersial biohidrokarbon atau green-fuels," ujar Feby.

Apalagi, produksi CPO dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO) Indonesia, imbuh Feby, di tahun 2018 diperkirakan mencapai 48-49 juta ton, ekuivalen dengan 700-750 ribu barrel/hari BBM. Tercatat, hanya sekitar 27,5% dari total produksi CPO tersebut yang digunakan untuk kebutuhan domestik (termasuk untuk Biodiesel), sedangkan sisanya untuk diekspor.

"Potensi ketersediaan bahan baku ini membuka peluang bagi Indonesia menjadi penghasil biohidrokarbon terbesar di dunia," ujar Feby.

Ke depan, rencana pengujian co-processing untuk produksi green-diesel dan green-avtur atau jet-fuel akan dilaksanakan pada tahun 2019 dengan menggunakan katalis "merah putih" PIDO yang berhasil dikembangkan oleh Pusat Rekayasa Katalisis ITB.

"Besar harapan co-processing unit untuk produksi green-gasoline ini dapat di scale-up dan diduplikasi di refinery unit lainnya mengingat impor bensin Indonesia di tahun 2018 diperkirakan mencapai 17 juta kilo liter," harapnya kepada pelaku industri BBN.

Menyambut hal tersebut, Direktur Pengolahan Pertamina, Budi Santoso Syarif memaparkan implementasi pengolahan CPO secara co-processing di kilang telah memberikan kontribusi positif bagi perusahaan dan negara dari segi kualitas produk, hasil yang ramah lingkungan serta berpotensi mengurangi impor minyak mentah.

"Tingkat kandungan dalam negeri atau TKDN sangat tinggi, karena CPO yang diambil bersumber dari dalam negeri, transaksi yang dilakukan dengan rupiah sehingga mengurangi devisit anggaran negara, serta hasil bahan bakar ramah lingkungan," jelas Budi.

Budi menambahkan hasil implementasi co-processing tersebut telah menghasilkan Green Gasoline Octane 91,3 sebanyak 405 MB/bulan atau setara 64.500 Kilo Liter/Bulan dan produksi Green LPG sebanyak 11.000 ton per bulan.

"Upaya ini sangat mendukung Pemerintah dalam mengurangi penggunaan devisa, dimana Pertamina bisa menghemat impor crudesebesar 7.36 ribu barel per hari atau dalam setahun mampu menghemat hingga USD 160 juta", ujarnya.

Co-processing merupakan salah satu opsi metode produksi green-fuel melalui proses pengolahan bahan baku minyak nabati dengan minyak bumi secara bersamaan menjadi green hydrocarbon (green-gasoline, green-diesel, atau bioavtur).

Co-processing dinilai lebih efektif sehingga dipilih untuk diimplementasikan dalam waktu dekat dengan pertimbangan:

1. Low Investment Cost, dengan minor modification unit existing refinery;

2. High Operation Flexibility, dimana digunakan dual feed (fosil dan nabati) sehingga bisa mengantisipasi ketidakpastian jumlah suplai bahan baku dan harga;

3. Waktu yang dibutuhkan untuk EPC relatif lebih cepat; dan

4. Memungkinkan juga untuk opsi feed 100% minyak nabati.

Penulis: Rakhma W. Sambodo / Naufal Azizi

Bagikan Ini!