Pengusahaan Migas di Indonesia dalam Perspektif Kedaulatan Negara Atas SDA (4): Kedaulatan Negara Atas SDA

Jumat, 23 September 2011 - Dibaca 6499 kali
Oleh: Agus Salim, Biro Hukum dan Humas, Kementerian ESDM

Menjawab paparan sebelumnya, dalam tataran praktis, kontrak atau perjanjian kerja sama selalu mengikat para pihak secara ketat. Undang-undang di semua negara menghormati dan menjamin sepenuhnya bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak merupakan sesuatu yang harus dipatuhi sesuai dengan asas pacta sunt servanda.

Pasal 1338 dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kepatutan. Artinya, kontrak-kontrak yang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kepatutan tidak dapat diputuskan atau diakhiri secara sepihak. Pemutusan kontrak hanya dapat dilakukan melalui pengadilan, itu pun jika para pihak atau salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi).

Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu dicermati terkait dengan kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu migas dihubungkan dengan kedaulatan negara atas SDA:

Pertama, semua kontrak kerja sama (KKS/KPS) hulu migas berdurasi 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Banyak hal yang bisa terjadi di kemudian hari yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya pada saat kontrak tersebut dibuat. Artinya, tidak menutup kemungkinan kontrak yang dibuat pada 10 tahun atau 20 tahun yang lalu isinya tidak lagi sesuai dengan perasaan keadilan saat ini. Perubahan terhadap kontrak tersebut tidak dapat dilakukan, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.

Kedua, indikasi kedaulatan negara dapat terlihat dalam klausula kontrak yang mengatur mengenai Domestic Market Obligation (DMO). Masalahnya jika kontraktor tidak melaksanakan kewajibannya terkait dengan DMO, pemerintah tidak dapat melakukan upaya paksa terhadap kontraktor, kecuali melalui gugatan ke forum arbitrase yang sudah disepakati dalam kontrak tersebut.

Ketiga, sebagian besar para pihak dalam kontrak-kontrak hulu migas tunduk pada stelsel hukum yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan. Kontrak seperti ini masuk dalam kategori perjanjian perdata internasional yang dalam banyak hal tunduk pada kaedah-kaedah hukum perdata internasional.

Keempat, kontrak-kontrak hulu migas (KPS/KKS) bersifat unik. Berbeda dengan jenis kontrak kerja sama pada umumnya, kontrak migas lebih banyak memuat kewajiban yang harus dilakukan oleh kontraktor daripada kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah c.q. BPMIGAS. Itu sebabnya mengapa para kontraktor yang notabene adalah para investor di bidang usaha migas selalu meminta jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan kontrak yang sudah disepakati bersama. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa ada sisi negatif atau kelemahan kontrak kerja sama sebagai bentuk hukum pengusahaan hulu migas dalam perspektif kedaulatan negara atas SDA.

Jika pemerintah atau negara berpendapat bahwa kontrak tersebut perlu direnegosiasi karena tidak lagi sesuai dengan kondisi objektif dan perasaan keadilan saat ini, kontraktor tidak begitu saja dapat menerimanya dengan sukarela. Keberatan kontraktor dilindungi oleh undang-undang karena kontrak tidak dapat dibuah secara sepihak. Adanya permohonan uji materi (judicial review) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Cost Recovery) terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya yang diajukan oleh Indonesia Petroleum Association (IPA) ke Mahkamah Agung membuktikan adanya sisi negatif tersebut di atas.

Intinya IPA berpendapat bahwa kontrak kerja sama yang sudah ada sebelum lahirnya PP Cost Recovery harus dihormati dan dipatuhi oleh para pihak. Demikian pula dengan renegosiasi atas Kontrak Karya dan PKP2B di bidang mineral dan batu bara yang sedang berjalan antara pemerintah dan kontraktor merupakan bukti kongkret adanya sisi negatif atau kelemahan dari bentuk hukum kontrak kerja sama dalam perspektif kedaulatan negara atas SDA.

Berbeda halnya jika pemerintah memilih izin sebagai bentuk hukum pengusahaan migas. Kedaulatan negara atas SDA lebih terlihat pada bentuk hukum ini karena pemerintah setiap saat dapat mencabut izin tersebut bila kontraktor tidak melaksanakan kewajibannya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memilih izin sebagai bentuk hukum pengusahaan di bidang mineral dan batu bara dan panas bumi.

Bagikan Ini!