Ada Apa Dengan UU Migas

Minggu, 3 April 2011 - Dibaca 15303 kali

Oleh: Agus Salim

Kepala Bagian Bantuan Hukum, Biro Hukum dan Humas, Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM

Keinginan untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ("UU Migas") memang telah ada sejak UU Migas itu sendiri lahir. Keinginan tersebut pada awalnya diprakarsai oleh sekelompok orang yang merasa tidak puas dengan UU Migas, terutama dari mereka yang telah menikmati kenyamanan di bawah rezim undang-undang migas yang lama, yakni Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Secara formal telah dilakukan dua kali uji materi (judicial review) atas UU Migas. Namun, kecuali terhadap Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (2) dan (3), uji materi keduanya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Keinginan untuk mempersoalkan UU Migas kembali mencuat pasca dibentuknya Panitia Angket BBM pada 2008. Badan Legislasi DPR beberapa waktu yang lalu telah membahas usulan amandemen atas UU Migas. Tjatur Sapto Edi dari FPAN berpendapat bahwa undang-undang yang ada tidak cukup kuat untuk memanfaatkan sumber daya alam bagi kepentingan negara. Alasan lainnya adalah UU Migas kental pengaruh asing sebagaimana terlihat dari adanya (dugaan) aliran dana Rp. 200 miliar dari USAID dalam bentuk reformasi sektor energi ke berbagai pihak di Indonesia (Republika, 4 September 2008). Perubahan ditujukan pada sejumlah pasal krusial yang dinilai bermasalah. Pasal-pasal dimaksud adalah (i) Pasal 8 ayat (1); (ii) Pasal 11 ayat (2); (iii) Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3); (iv) Pasal 14 ayat (1); (v) Pasal 22 ayat (1); dan (vi) Pasal 28 ayat (2). Enam pasal penting dalam UU Migas ini dikemukakan oleh sejumlah inisiatornya di Badan Legislasi. Mereka adalah Ana Muawanah, Eva Sundari, Dradjad Wibowo, Hasto Kuncoro, dan Tjatur Sapto Edy.

Ada apa dengan UU Migas? Sejauh ini penulis belum melihat ada hal-hal yang perlu dipersoalkan dari pasal-pasal tersebut di atas, terutama dalam kaitannya dengan alasan yang dijadikan dasar untuk mengajukan usulan amandemen. Posisi negara/pemerintah dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam UU Migas sangat kuat dan secara yuridis tidak ada yang bertentangan dengan semangat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, kecuali terhadap Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang telah dinyatakan dihapus dan tidak berlaku oleh MK. Juga tak terlihat adanya pasal-pasal yang mencerminkan adanya "pengaruh asing" sehingga sangat menguntungkan pihak asing dan merugikan negara.

Pengusahaan di bidang migas tidaklah sama dan sebangun dengan pengusahaan di bidang sumber daya daya alam lainnya, seperti mineral atau batu bara; apalagi dibandingkan dengan pengusahaan di bidang properti atau jalan toll. Jika pemerintah menyatakan bahwa cadangan minyak kita adalah sebesar sekian miliar barel, misalnya, janganlah dibayangkan bahwa di perut bumi Indonesia terhampar kolam besar berisi minyak yang dapat diciduk kapan saja kita mau. Seperti kita ketahui, minyak terdapat di dalam lapisan batuan reservoar. Untuk memastikan apakah di bawah perut bumi ada minyak atau tidak, diperlukan seperangkat aktivitas, mulai survei geologi sampai dengan eksplorasi dan eksploitasi. Setelah diyakini sepenuhnya bahwa di lokasi tertentu ada minyak, baru kemudian dibor dan diangkat ke atas, itu pun tidak bisa seluruhnya terangkat. Singkatnya, mengangkat minyak dari bumi pertiwi memerlukan infrastruktur, tenaga ahli, modal yang sangat besar, teknologi tinggi dan, ini yang perlu dipahami, high risk. Itu sebabnya perusahaan yang bergerak di industri migas tidak sebanyak di industri media cetak dan elektronik.

Memahami UU Migas harus berangkat dari pemahaman kita terhadap kegiatan usaha migas yang khas tersebut. Penulis tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila:

  • setiap kontrak kerja sama di bidang pengusahaan hulu migas antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) dan kontraktor harus terlebih dahulu dikonsultasikan dan mendapat persetujuan DPR sebagaimana diusulkan oleh para pengusul amandemen UU Migas;

  • setiap badan usaha yang ingin mengeksplorasi atau mengeksploitasi di wilayah kerja tertentu harus mendapat persetujuan DPR;

  • merivisi atau membatalkan kontrak kerja sama yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan negara harus melalui persetujuan DPR;

  • DPR berhak mengajukan revisi terhadap kontrak kerja sama yang dianggap merugikan;

  • DPR dapat melarang ekspor BBM dan olahannya sebelum perusahaan kontrak kerja sama memenuhi kebutuhan dalam negeri;

  • badan usaha wajib menyerahkan 75% (sebelumnya 25%) bagian dari hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri.

Kita sepakat bahwa prinsip dasar pengelolaan dan pengusahaan migas adalah Pasal 33 UUD 1945, yakni "dikuasai oleh negara" dan "dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Dengan kata lain, hak kepemilikan atas migas ada pada negara dan negara sendiri harus memperoleh keuntungan. Namun, dan ini hendaknya dipahami dengan baik, bahwa kata "untung" di sini tentu saja bukan dalam konteks "negara untung, kontraktor atau perusahaan rugi", tetapi negara dan kontraktor sama-sama memperoleh keuntungan.

Jadi, penulis sama sekali tak melihat adanya korelasi antara UU Migas dan masalah yang saat ini ramai dibicarakan orang, seperti masalah yang menjadi latar belakang lahirnya Panitia Angket BBM, masalah kontrak jual-beli gas, masalah lifting, cost recovery, dugaan penyimpangan-penyimpangan di subsektor migas, pengaruh asing, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut, jika memang terbukti, lebih disebabkan karena human error.

Persoalan krusial di subsektor migas saat ini, dan tampaknya untuk beberapa tahun ke depan, adalah menurunnya lifting minyak. Ini terjadi karena sebagian besar sumur-sumur minyak di Indonesia yang dikelola oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama, antara lain Chevron, ConocoPhilip, PT Pertamina, ExxonMobil, adalah sumur-sumur tua. Sementara pencarian sumur-sumur baru memerlukan investasi dan waktu yang cukup lama. Ada baiknya kita fokus pada upaya-upaya untuk meningkatkan lifting minyak dan menarik investor untuk menanamkan modalnya di bidang migas. Sungguhpun demikian, UU Migas bukanlah kitab suci yang tidak boleh diubah. UUD 1945 saja yang sebelumnya dianggap sakral telah mengalami beberapa kali perubahan. Artinya, perubahan terhadap UU Migas harus mengacu pada sebuah tujuan mulia: (i) meningkatkan lifting minyak dan (ii) menarik investor untuk menanamkan modalnya di bidang migas. Semua ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan -- termasuk legislasi dan regulasi yang mengatur mengenai kehutanan, lingkungan hidup, pelayaran, perpajakan, perimbangan keuangan pusat dan daerah, penanaman modal, dan sebagainya -- yang menghambat terwujudnya tujuan mulia tersebut tentunya harus segera direvisi.

Bagikan Ini!