Memburu Emas Di Sekoton, Lombok Barat

Minggu, 26 Desember 2010 - Dibaca 17128 kali

Oleh : Ngurah Ardha, Peneliti Senior, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara "tekMIRA" Bandung.Wilayah kecamatan Sekotong terletak di Kabupaten Lombok Barat bagian selatan dengan pemandangan lautnya dilihat dari atas bukit yang nampak indah. Pada awalnya sekitar tahun 1980-an PT.Newmont Nusa Tenggara melakukan eksplorasi di daerah perbukitan kering ini, kemudian dilanjutkan oleh PT. Indotan (apakah sebagai rekanan atau anak perusahaan PT Newmont Nusa Tenggara, penulis kurang mengetahui). Dari kegiatan eksplorasi diketahui bahwa perbukitan Sekotong ini mengandung tembaga, emas dan perak, khususnya emas yang sangat menjanjikan gemerlapnya dolar. Namun kemudian PT.Indotan melepas daerah Sekotong ini, karena saat itu pemerintah provinsi NTB ingin melindungi pulau Lombok sebagai kawasan yang bebas dari industri pertambangan berskala besar. Seiring dengan berjalannya waktu, entah siapa yang memulai dan menjadi pionir namun yang pasti kawasan yang dianggap gemerlap emas, perak dan tembaga ini ramai didatangi para pemburu emas liar, illegal, atau penambang tanpa ijin.Potensi emas di Sekotong disebutkan mencapai ribuan ton dan potensi perak sekitar tiga kali lipatnya yang tentunya jika ini benar dapat ditambang selama puluhan tahun dan akan dapat menyejahterakan rakyat setempat jika dikelola dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip good mining practices. Namun hingga saat ini potensi ini tidak dapat dieksploitasi secara resmi karena pemerintah provinsi NTB telah menerbitkan peraturan daerah (Perda) nomor 11 tahun 2006 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pasal 38 perda tersebut membatasi persetujuan penambangan yang diterbitkan para bupati di Pulau Lombok.Meskipun demikian, demi sesuap nasi, warga setempat bersama-sama dengan warga pendatang yang telah berpengalaman dalam memburu emas yang berasal dari Sulawesi Tenggara, Kalimantan dan Jawa Barat, berjumlah kurang lebih 3000 orang nekat melakukan aktivitas penggalian secara tradisional dan illegal. Peralatan yang dipakai pun sangat sederhana dan tradisional seperti cangkul, linggis, palu, betel, tali, dan karung sebagai penampung batu-batuan yang diyakini mengandung emas. Belajar dari para pendatang, penduduk lokal sekarang sudah mahir membongkar sumber daya alam tersebut tanpa memperdulikan keselamatan dirinya dan lingkungan. Di wilayah perbukitan Sekotong itu dibangun tenda-tenda atau bedeng-bedeng, dari kejauhan nampak berderet bedeng-bedeng terpal berwarna-warni khas camp penambang liar.Berdasarkan informasi setempat bahwa kegiatan penambangan emas liar sudah meluas di beberapa desa yang ada di Kecamatan Sekotong. Kawasan terbuka akibat penambangan itu sudah mencapai sekitar 1.000 ha, di mana ada yang masuk kawasan hutan lindung, hutan kemasyarakatan dan ada juga di lahan milik warga. Hal ini tentu menyebabkan kerugian Pemda, karena selain kerusakan lingkungan juga kehilangan pendapatan daerah kabupaten Lombok Barat.Para penggali/penambang membuat lubang-lubang berukuran kira-kira 1 x 1,5 m2 dengan kedalaman 3 - 7 m sampai menemukan batuan yang diinginkan. Beberapa lubang yang sudah tidak produktif ditinggalkan begitu saja bahkan dibiarkan menganga, walaupun ada sebagian lainnya sudah ditutup/ditimbun lagi. Dengan peralatan sederhana yang disebutkan diatas mereka mencongkel batu yang diinginkan lalu diangkat keatas. Sampai diatas tanah, batuan dimasukkan ke dalam karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 40 kg batuan. Satu karung batu mereka meyakini akan mendapatkan emas sekitar 1 - 10 gram.Sekotong yang akrab dengan gelundung dan air raksaKarung yang telah berisi batu mengandung emas diangkut keluar daerah tambang dengan sepeda motor atau mobil jip untuk diolah menggunakan cara amalgamasi dengan media air raksa sebagai penangkap butiran emasnya. Teknik tradisional ini oleh masyarakat penambang liar biasa disebut dengan proses gelundung atau masyarakat setempat di Sekotong (Lombok Barat) menyebut gelondongan. Unit-unit gelundung, dimana satu unit terdiri dari 6 - 10 gelundung sudah banyak bermunculan disekitar penggalian batuan, selain juga ada di perkampungan di tepi jalan, bahkan ada yang berdekatan dengan bibir pantai di Sekotong.Bongkahan batu yang sudah digali pada umumnya dijual kepada pembeli, yang sebagian besar sebagai pemilik mesin gelundung. Ongkos angkut hasil tambang ke tempat gelundung Rp 25.000-Rp 50.000 per karung (40 kg) tergantung jarak tempuh menuju mesin gelundung. Satu jip mampu mengangkut 25 karung. Sedangkan motor hanya mampu mengangkut 2 - 3 karung. Jadi bisa dibayangkan berapa penghasilan buruh tambang/angkut bongkahan batu perhari.Pemilik gelundung lebih hebat lagi, mereka mengolah batuan hingga menghasilkan emas lantakan (bullion) yang siap dijual dengan harga sekitar dua ratus ribu rupiah per gram. Mereka mengolah dengan cara-cara sederhana dan sudah umum dilakukan. Batuan hasil galian dipukul-pukul dengan palu agar pecah sampai berukuran paling kasar sekitar telur burung puyuh, lalu dimasukkan atau dihancurkan lagi dengan cara digiling dalam gelundung yang berisi 3 buah pelor (bola-bola besi) berdiameter kira-kira 7,5; 5; dan 3 cm serta ditambah air secukupnya. Jika sekiranya batuan sudah menjadi pasir halus berukuran kurang dari 0,5 mm, hasil gelundung dikeluarkan lalu di dulang atau di limbang menggunakan baskom plastik dalam media air. Fraksi halus dan/atau ringan dibuang, sedangkan fraksi berat yang membawa butiran emas akan tertinggal pada baskom. Selanjutnya fraksi berat ini ditambahkan air raksa (Hg) secukupnya agar berfungsi sebagai bahan penangkap/pengikat butiran emas dan diaduk dengan tangan. Setelah itu, air raksa yang menangkap butiran emas yang istilah teknisnya sering disebut dengan "amalgam"; diambil untuk dipisahkan dari pasirnya, lalu ditaruh dalam kain penyaring yang terbuat dari parasut, diperas sampai sebagian besar air raksa keluar lolos kain saringan. Air raksa ini bisa digunakan lagi untuk menangkap emas dalam pekerjaan amalgamasi berikutnya. Setelah disaring dan air raksa terpisah, butiran emas terlihat tertinggal dalam kain. Butiran-butiran emas yang diperoleh kemudian disatukan dengan cara dibakar yaitu ditaruh di atas koyi (mangkok tanah liat), lalu dibakar atau dilelehkan menggunakan api dari kompor bertekanan (burner tangan). Pada saat pelelehan amalgam, penulis tidak sempat melihat apakah ditambahkan pereaksi yang seharusnya diperlukan seperti borak, nitrat dan karbonat untuk mengikat pengotor. Yang jelas, jika selama pembakaran terlihat ada logam leleh lalu menggumpal, itu adalah bullion emas yang memang diharap-harapkan oleh mereka, namun masih mengandung perak dan sudah siap untuk dijual. Bullion emas yang dihasilkan dari satu gelundung berisi 5 kg batuan bisa mendapatkan 0,5 - 1 g. Jika satu unit memakai 10 gelundung dan dalam sehari beroperasi 2(dua) kali proses, berarti dalam sehari minimal mereka mendapatkan bullion emas sekitar 10 - 20 g. Produk ini adalah sebagai hasil akhir dari serangkaian kegiatan para pemburu emas yang tidak mengenal lelah dan tentunya mengabaikan bahaya terhadap dirinya sendiri maupun lingkungannya.Oleh: Ngurah Ardha, Peneliti Senior, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara "tekMIRA" Bandung. Catatan ini dibuat berdasarkan hasil peninjauan di lokasi (Sekotong) pada bulan Juni 2010, ditambah beberapa informasi dari pemda Lombok Barat serta masyarakat Sekotong yang terlibat langsung dalam kegiatan penggalian batuan mengandung emas tanpa ijin.

Bagikan Ini!