Subsektor EBTKE Perlu Diprioritaskan Dalam Paket Stimulus Pasca Covid-19

Selasa, 12 Mei 2020 - Dibaca 600 kali

JAKARTA - Berkembangnya pandemi Covid-19 secara global dalam beberapa bulan terakhirmemberikan dampak yang luar biasa bagi sebagian besar aspek kehidupan masyarakat,termasuk pemanfaatan energi. Kebijakan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan pada beberapa negara secara signifikan mengurangi permintaan kebutuhan listrik.

"Demand listrik global turun 2,5% kalau kita bandingkan kuarter satu 2020 dengan kuarter satu2019. Rata-rata penurunan permintaan 20% pada kondisi lockdown total. Penurunan permintaan listrik secara global ini, diproyeksikan sebesar 5-10% selama tahun 2020," ungkap Direktur Aneka EBT, Harris pada online workshop yang diselenggarakan oleh Indonesia Joint Crediting Mechanism hari ini (12/5).

Menurut Harris, kebijakan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan pada beberapa negara mempengaruhi pelaksanaan proyek EBT karena adanya gangguan rantai pasokan, tidak tersedianya tenaga kerja dan masalah dalam pembiayaan proyek.

Berdasarkan analisis Wood Mackenzie, instalasi storage & PLTS global 2020 diperkirakan akan turun hampir 20% (dibandingkan pra-COVID-19), instalasi Wind diperkirakan turun sebesar 4,9 gigawatt (GW) (turun 6%), penurunan instalasi EBT & langkah-langkah Efisiensi Energi menyebabkan 106.000 pekerjaan hilang pada bulan Maret saja di Amerika Serikat, dan 51.000 pekerjaan pengeboran dan pemurnian yang hilang selama periode waktu yang sama. Analisis menunjukkan bahwa 15% dari total tenaga kerja energi bersih bisa hilang selama beberapa bulan mendatang - lebih dari setengah juta pekerjaan.

Sementara itu, untuk tren beban listrik nasional selama pandemik ini, kondisi sistem Jawa-Bali , Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi mengalami penurunan permintaan. Penurunan tertinggi terjadi pada sistem Jawa Bali yaitu sebesar minus 9,55%. "Berdasarkan data 3 minggu terakhir segmen Bisnis dan Industri mengalami penurunan signifikan, sedangkan segmen Rumah Tangga tidak mengalami penurunan. Dengan kondisi saat ini, kita melihat perlu adanya prioritas untuk EBT dan konservasi energi dalam rangka menghadapi pasca Covid-19, yaitu perlu adanya stimulus," tutur Harris.

Lebih lanjut Harris menjelaskan bahwa sangat dipahamikeputusan yang dibuat para pemimpin dunia saat ini akan berpengaruh jangka panjang setelah krisis Covid-19 surut. "Pilihannya ada dua, yaitumembuka kembali ekonomi yang didrive oleh sumber bahan bakar yang gagal di masa lalu, atau memulai jalan menuju masa depan yang bersih, termasuk efisiensi energi. Pemerintah dan investor harus menyikapi bahwa COVID-19 bukan sebagai sinyal untuk memperlambat, tetapi untuk mempercepat EBT," tandasnya.

Harris pun menguraikan alasan paket stimulus harus mencakup investasi energi bersih, yaitu:

1. Energi bersih menghasilkan pengembalian ekonomi 3 - 8 kali lebih tinggi dari investasi awal, sebagaimana analisis World Resources Institute (WRI)

2. Ketidakstabilan harga bahan bakar fosil memberikan peluang global untuk mempercepat peralihan ke energi bersih

3. Investasi dalam EBTKE dapat menghasilkan 63 juta pekerjaan baru pada tahun 2050.

Saat ini penggunaan EBT di Indonesia baru mencapai 8,55% dan tentunya pencapaian tersebut diharapkan terus meningkat kedepannya seiring dengan berjalannya waktu, sebagaimana target yang telah ditetapkan pada RPTUL baik target capaian untuk pembangkit maupun non pembangkit. Sebagai informasi, didalam RPJMN terdapat rencana penambahan target pada energi terbarukan dari tahun 2024 yaitu sekitar 9.050 MW. Tentunya pencapaian target ini tidak dapat berjalan sendiri tetapi harus didukung perangkat kebijakan, upaya terkait pembiayaan dan lain sebagainya supaya target yang ditetapkan dapat diimplementasikan, terutama karena dampak pandemik saat ini.

Pada kesempatan ini, Harris menyampaikan beberapa strategi pemanfaatan energi terbarukan pasca Covid-19, antaralain:

a. Pemanfaatan anggaran APBN untuk kegiatan yang menggerakkan ekonomi masyarakat. Salah satu contohnya adalah kerja sama dengan Kementerian KKP dalam pembangunan PLTS untuk cold storage.

b. Memanfaatkan waduk/danau untuk pembangunan PLTS terapung, mengacu pada Ketentuan Permen PUPR No.6/2020, 5% dari total luasan waduk untuk PLTS terapung.

c. Perbaikan regulasi dengan menyusun RPerpres EBT yang dapat mengakselerasi pengembangan EBT melalui perbaikan harga, mekanisme dan tata kelola.

d. Kerjasama dengan lembaga internasional dalam mengupayakan pendanaan yang murah, kerjasama pengembangan EBT skala besar, kerjasama dalam integrasi EBT dsb.

e. Perbaikan peraturan. Baru-baru ini telah ditetapkan Permen ESDM No 4 Tahun 2020 sebagai upaya perbaikan pada beberapa hal dari Permen 50 Tahun 2017. Namun Permen ESDM tersebut bukan pengganti dari Perpres dan Perpres yang saat ini kita susun tetap diproses.

"Inisiatif lainnya, adalah dukungan dari pemangku kepentingan. Seperti yang saya sampaikan tadi, upaya pencapaian target EBT pasca Covid-19 tidak dapat dilakukan Pemerintah sendiri. Inisiatif lainnya antara lain Mega Booster Program 50 GW PLTS yang diinisiasi Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia, Program Surya Nusantara: 1 GW/tahun yang diinisiasi oleh IESR, dan PLTS untuk cold storage on grid dan portable yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat dan hemat biaya energi," pungkas Harris. (RWS/DLP)