Ini Peran Penting Migas Dalam Transisi Energi

Kamis, 17 Februari 2022 - Dibaca 910 kali

Jakarta, Pada periode transisi energi, energi fosil seperti minyak dan gas bumi, serta batubara masih memiliki peran penting untuk dikembangkan sebelum energi yang lebih bersih tersedia. Minyak bumi masih menjadi energi utama untuk transportasi, sebelum digantikan dengan kendaraan listrik, serta gas bumi dapat dimanfaatkan untuk energi transisi sebelum energi baru terbarukan (EBT) 100% di pembangkit listrik.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menegaskan hal itu dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (17/2). Hadir mendampingi Menteri ESDM, antara lain Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji.

"Gas bumi juga menjadi bahan bakar pembangkit untuk EBT yang intermiten. Migas juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan domestik, antara lain bahan bakar transportasi, bahan baku dan bahan bakar di industri, serta bahan bakar di rumah tangga," tambah Menteri ESDM.

Oleh karena itu, lanjut Menteri Arifin, Pemerintah terus mendukung peningkatkan produksi migas nasional. Pemerintah menargetkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 BSCFD pada tahun 2030.

Strategi yang dilakukan untuk peningkatan produksi dan cadangan migas adalah optimasi produksi lapangan eksisting, transformasi resources to production, mempercepat chemical EOR, serta eksplorasi secara massif untuk penemuan besar. Juga, penerapan Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) untuk lapangan-lapangan migas.

Transisi energi merupakan proses panjang yang harus dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk menekan emisi karbon yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Kesepakatan dalam transisi energi bertujuan untuk menuju ke titik yang sama yaitu pemanfaatan energi bersih yang terus meningkat. Presiden Joko Widodo telah menyampaikan bahwa Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060.

Menteri ESDM menjelaskan, emisi sektor energi Indonesia pada tahun 2021 sebesar 530 juta ton Co2e. Diperkirakan peak emisi terjadi sekitar tahun 2039 sebesar 706 juta ton CO2e. Emisi berkurang secara signifikan setelah tahun 2040 mengikuti selesainya kontrak pembangkit fosil. Pada tahun 2060, emisi pada pembangkit adalah nol. Sementara tingkat emisi 2060 pada skenario NZE masih sebesar 401 juta ton CO2e yang berasal dari sisi demand, utamanya dari sektor industri dan transportasi.

"Saat ini Tim NZE Kementerian ESDM masih melakukan pendalaman roadmap melalui pendetailan dari sisi suplai dan demand, serta melakukan exercise untuk menentukan target penurunan emisi optimal dari sektor energi pada 2060," kata Menteri ESDM. (TW)