Pasokan Gas Domestik Capai 65,4 Persen, Bukti Migas Jadi Modal Pembangunan Nasional

Jumat, 16 Agustus 2019 - Dibaca 1046 kali

Jakarta, Penggunaan produksi gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau domestik semakin meningkat tiap tahunnya. Hingga Mei 2019, produksi gas yang diigunakan untuk domestik mencapai 3.935,09 BBTUD atau 65,4% dari total produksi. Hal ini membuktikan bahwa migas tidak dijadikan komoditas ekspor semata, melainkan sebagai modal pembangunan nasional.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto dalam pertemuan dengan wartawan di Gedung Ibnu Sutowo, Kuningan, Jakarta, Jumat (16/8), memaparkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang kebijakan Energi Nasional, dinyatakan bahwa sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai modal pembangunan nasional. Sumber daya energi ditujukan untuk modal pembangunan guna sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya bagi pembangunan ekonomi nasional.

"Dari aturan itu jelas, sumber daya energi bukan semata-mata untuk ekspor-impor. Ekspor kita makin lama makin turun dan sebaliknya (pasokan) untuk domestik makin lama makin besar. Kita gunakan migas untuk modal pembangunan," terangnya.

Produksi gas digunakan sebagai bahan baku untuk menggerakkan sektor-sektor lain yang pada akhirnya juga menciptakan lapangan kerja. "Pabrik pupuk bahan bakunya apa? Gas kan? Kalau hanya melulu ingin memperbaiki neraca perdagangan, ya sudah semua gas kita ekspor saja. Tapi hasilnya apa? Pabrik pupuk tutup, pupuknya impor. Pabrik petrokimia tutup. Akhirnya apa? Kita semuanya impor. Mau begitu?" ujar Djoko menanggapi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengatakan neraca dagang Indonesia mengalami defisit pada Juli 2019 sebesar US$60 juta lantaran impor migas masih tinggi, tak sebanding dengan ekspor sehingga menyebabkan defisit.

Djoko melanjutkan, pada tahun 2003, ekspor gas mencapai 4.397 BBTUD dan penggunaan gas untuk domestik hanya sekitar 1.480 BBTUD. Sejak tahun 2005, pasokan domestik terus meningkat seiring bertumbuhnya industri Indonesia. "Kita membangun pipa Belawan, menyetop PLN membeli pembangkit listrik berbahan bakar BBM dan harus menggunakan gas. Ada beberapa pabrik petrokimia baru dan perpanjangan kuota gas untuk pabrik pupuk serta pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga. LNG juga diserap PLN lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Karena itu kebutuhan gas domestik kita meningkat," papar Djoko.

Kementerian ESDM melakukan berbagai upaya untuk mendukung pembangunan nasional, termasuk menekan subsidi energi dan mengalihkan untuk modal pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. "Subsidi minyak tanah paling tinggi berhasil kita tekan. Premium juga (tidak disubsidi) dan sekarang Solar juga tidak impor, kita atasi dengan penggunaan biodiesel. Upaya-upaya yang kita lakukan luar biasa lho, sampai diakui internasional," tegas Djoko.

Upaya lain yang dilakukan Pemerintah untuk menekan impor BBM adalah membeli produksi minyak mentah yang menjadi bagian KKKS. "Kita gunakan minyak dan gas dalam negeri sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kenapa? Karena berdasarkan PP Nomor 79 tersebut, migas bukan semata-mata komoditas ekspor. Kalau kita ekspor, ada nggak lapangan kerja untuk bangun pipa? Ada nggak orang kerja gali-gali pipa buat jargas? Kita gunakan untuk dalam negeri, crude-nya juga dipakai untuk dalam negeri," tutup Djoko. (TW)