Tekan Kecelakaan di SPBU, Ditjen Migas Siapkan Rencana Aksi

Rabu, 10 Juni 2020 - Dibaca 900 kali

Jakarta, Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM terus berupaya menjaga keselamatan sekaligus menekan terjadinya kecelakaan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Untuk mendukung pelaksanaan aturan terkait keselamatan migas di SPBU yang telah ditetapkan sebelumnya, sejumlah rencana aksi juga telah disiapkan.

Hal ini penting lantaran berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral c.q Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, selama periode 2016-2019, terjadi peningkatan kecelakaan di SPBU di mana pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing terjadi 9 kecelakaan, tahun 2018 melonjak menjadi 18 kecelakaan dan 2019 sedikit menurun menjadi 16 kecelakaan.

Kepala Subdirektorat Keselamatan Hilir Migas Ditjen Migas Wijayanto dalam diskusi virtual mengenai Keselamatan SPBU dalam New Normal yang diselenggarakan PAKKEM dan Ditjen Migas, Rabu (10/6), memaparkan, untuk meningkatkan keselamatan migas di SPBU, sejumlah rencana aksi telah disiapkan Pemerintah yaitu mengkaji ulang Pedoman Keselamatan SPBU seperti sistem Vapor Recovery Unit (VRU), SPBU Mini atau kios penyalur BBM dan SPBU Hub yaitu fasilitas unloading ke truk tangki BBM.

"Kecelakaan di SPBU banyak terjadi saat pengisian BBM dan faktor eksternal. Kita usulkan untuk mengkaji ulang pedoman keselamatan migas," kata Wijayanto.

Terkait kompetensi, Pemerintah juga akan mengkaji ulang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk operasi SPBU. Ini harus dilakukan karena berdasarkan temuan di lapangan, banyak operator di SPBU ternyata bukan merupakan pegawai tetap. Teknisi pun dilakukan oleh pihak ketiga. "Kompetensinya akan kita tingkatkan," tambahnya.

Rencana aksi lainnya adalah melakukan sosialisasi keselamatan SPBU melalui media sosial, membuat media audio visual keselamatan SPBU dan kemudian menyebarluaskannya sehingga dapat diakses oleh masyarakat.

Terakhir, mengusulkan penambahan kategori Penghargaan Keselamatan Migas untuk SPBU dan melaksanakan Audit SMKM khusus SPBU. "Selama ini tidak ada penghargaan untuk SPBU. Penghargaan hanya untuk badan usaha. Kita akan usulkan SPBU juga mendapatkan penghargaan," tutur Wijayanto.

Data Kementerian ESDM juga menunjukkan, berdasarkan jenis kegiatan, sebanyak 85% terjadi pada saat pengisian BBM, 9% ketika pemeliharaan dan 6% saat penimbunan.

Faktor yang menyebabkan kecelakaan di SPBU, sebanyak 56% disebabkan eksternal yaitu penggunaan jerigen yang tidak memenuhi standar, 29% lantaran modifikasi kendaraan seperti busi yang tidak tertutup, knalpot mengeluarkan api dan tangki BBM yang dibuat lebih besar. Faktor lainnya adalah internal SPBU sebanyak 15%.

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Ditjen Migas dan Tim Independen Pengendalian Keselamatan Migas (TIPKM), kecelakaan di SPBU disebabkan oleh kurangnya kontrol dan inspeksi dari badan usaha, tidak kompetennya pengawas dan operator SPBU dan ketidakcakapan petugas SPBU menggunakan alat pemadam kebakaran (APAR).

"Selain itu, komitmen badan usaha terhadap keselamatan diharapkan jangan hanya menjadi slogan yang dituliskan, tetapi kurang diperhatikan," ujar Wijayanto.

Penyebab lainnya, penggunaan jerigen yang tidak sesuai standar keselamatan.

Untuk menekan kecelakaan di SPBU, sebelumnya telah dilakukan sosialisasi keselamatan dengan Kepala SPBU, FGD Keselamatan SPBU dengan Pertamina, kerja sama dengan Pertamina dan LSP PPT Migas perihal kualifikasi dan kompetensi inspektur SPBU, membuat program Road to Zero Accident, merumuskan RSNI jerigen BBM yang sesuai standar keselamatan dan membuat Atlas Keselamatan Migas dan Buku Keselamatan SPBU.

"Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan Pemerintah ditambah rencana aksi yang akan dilakukan, diharapkan dapat terwujud instalasi migas yang aman, andal dan akrab lingkungan," kata Wijayanto.

Kurangnya kompetensi operator serta rendahnya pemahaman pengusaha SPBU mengenai keselamatan migas, juga diakui Levi Kurniawan, anggota Hiswana Migas yang juga pemilik beberapa SPBU.

"Kurangnya kompetensi menyebabkan ketika terjadi kecelakaan, respon awal petugas malah lari menghindar. Ketika api semakin membesar, tidak mungkin lagi memadamkan api secara manual oleh operator atau pengawas," katanya.

Belajar dari pengalaman di lapangan, Levi mendukung perlunya peningkatan kompetensi para petugas serta penyediaan peralatan pemadaman yang efektif serta mudah digunakan. (TW)