Tiga Rencana Pemerintah Kembangkan Migas Non Konvensional

Senin, 10 Mei 2021 - Dibaca 1286 kali

Jakarta, Upaya Pemerintah mengembangkan migas non konvensional (MNK) terus dilakukan. Selain potensinya yang cukup besar, pengembangan MNK juga diharapkan dapat mendukung pencapaian target produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 BCFD pada tahun 2030.

Pemerintah menetapkan tiga rencana dalam pengembangan MNK ini. Pertama, revisi/penghapusan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008 dan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2012. Dalam aturan baru nantinya, wilayah kerja (WK) eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi MNK tanpa kontrak baru. Aturan ini juga telah disosialisasikan dengan stakeholder termasuk IPA pada 17 Maret 2021.

"Revisi aturan ini artinya di WK yang sama, tidak perlu izin baru lagi. Sudah bisa melakukan pengusahaan WK MNK. Ini perubahan yang paling mendasar," papar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji pekan lalu ketika menjadi pembicara dalam Webinar tentang MNK yang diselenggarakan PT Pertamina.

Dirjen Migas mengharapkan aturan baru ini sudah dapat ditetapkan Menteri ESDM setelah Hari Raya Idul Fitri atau pertengahan Mei 2021. "Dari kami sudah meluncur (diserahkan) ke Sekjen ESDM untuk di proses ke Pak Menteri," tambah Tutuka.

Rencana kedua adalah pelaksanaan studi MNK di seluruh WK aktif. SKK Migas diharapkan melakukan inventarisasi WK eksplorasi atau eksploitasi. Studi pada WK tersebut untuk menentukan tingkat potensi MNK. Setelah diketahui potensinya, KKKS dapat langsung melakukan pengeboran produksi.

Rencana ketiga adalah pilot project produksi MNK di WK potensial. Pemerintah menargetkan pilot project MNK dengan aturan baru sudah dapat dilakukan pada tahun ini.

"Pilot project harus dilakukan segera. Kalau tahun ini tidak bisa, paling tidak tahun ini sudah harus bisa menentukan lokasi pilot project di mana. Pemborannya di mana," katanya.

Dia menjelaskan, ada teknologi yang dapat digunakan untuk pilot project ini yaitu multi-stage fractured horizontal (MSFH). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan dana komitmen kerja pasti (KKP) atau cost recovery. Estimasi biaya per sumur sekitar US$ 22 juta.

"Penentuan lokasi pilot project harus dikaji betul karena biayanya sangat mahal. Diharapkan dari pemboran ini kita bisa memperoleh data yang berguna. Kita akan pakai sebagai proof of concept," tutup Tutuka.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi MNK di Indonesia yaitu CBM sekitar 453,30 TCF dan shale gas 574 TCF.

MNK mulai dikembangkan di Indonesia tahun 2008 melalui penandatanganan WK Sekayu. Namun perkembangannya belum menggembirakan. Dari 54 kontrak WK Gas Metana Batubara yang ditandatangani mulai 2008-2012, saat ini tersisa 20 WK eksisting. Sedangkan 6 kontrak MNK yang ditandatangani 2013-2016, tersisa 4 MNK eksisting. Sementara mulai 2017 hingga saat ini, tidak terdapat tanda tangan kontrak WK MNK. (TW)