Aquabat Batu Bara Plus Air

Sabtu, 26 November 2011 - Dibaca 9829 kali

PALIMANAN - Cairan kental itu berwarna hitam pekat. Tak ada bau yang tercium dan tidak lengket bila dipegang. Cairan inilah yang memanaskan boiler beberapa pabrik tahu di Bandung, Jawa Barat.Pabrik tahu itu sudah meninggalkan minyak tanah atau solar untuk memanaskan mesinnya. Sebagai ganti, mereka menggunakan cairan yang berasal dari campuran batu bara dan air atau coal water fuel. Sifat bahan ini dibuat sangat mirip dengan minyak berat atau marine fuel oil (MFO) yang kental.Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerallah yang mengembangkan bahan bakar baru yang nilai kalorinya berkisar 3.500-4.000 per gram.Di Palimanan, Jawa Barat, mereka membuat peralatan yang setiap hari memproduksi 4 ton cairan hitam itu. "Kami namakan produk ini Aquabat, gabungan kata aqua yang berarti air dan bat atau batu bara," kata Datin Fatia Umar, peneliti utama pusat penelitian tersebut, kepada Tempo, Selasa lalu.Aquabat lahir dari uji coba Datin selama belasan tahun di laboratorium kantornya. Pada awalnya dia memiliki target mencampurkan batu bara dan air agar menjadi bahan bakar baru yang lebih irit dan ramah lingkungan.Perempuan kelahiran Bandung 58 tahun lalu ini terbentur hukum alam bahwa berat jenis batu bara yang lebih besar ketimbang air membuatnya mengendap dengan cepat setelah pencampuran. Karena itu, diperlukan zat ketiga yang berfungsi menyatukan dua bahan yang bermusuhan ini. "Perlu zat aditif untuk menyatukannya."Ramuan rahasia zat aditif temuan Datin itu dikembangkan dari bahan organik. Bahan ini mampu memerangkap dua bahan bermusuhan dengan menerapkan prinsip penurunan tegangan permukaan. Prinsip yang sama juga diterapkan pada detergen, karena zat aditif mampu menarik noda berukuran kecil yang menempel di pakaian.Bahan baku menggunakan batu bara bituminus yang memiliki kadar air rendah. Namun beberapa batu bara berkalori rendah juga dapat digunakan dengan terlebih dulu menempuh proses upgrading. Ini adalah proses memanaskan batu bara pada suhu 150 derajat Celsius dan tekanan 3,5 atmosfer.Sebelum disatukan dengan air, batu bara terlebih dulu dihancurkan hingga berukuran 75 mikrometer. Setelah itu, bubuk batu bara dicampurkan dengan air dan zat aditif serta diaduk hingga merata.Produk akhir proses ini adalah bahan bakar batu bara air. Sifat bahan ini dibuat sangat mirip dengan minyak berat (MFO) yang kental.Minyak berat selama ini banyak digunakan sebagai bahan bakar boiler. Mesin boiler sendiri digunakan pada berbagai industri, mulai pabrik pengolahan tahu, farmasi, bubur kertas, tekstil, hingga pembangkit tenaga listrik ukuran besar.Agar terbakar, Aquabat disemprotkan ke dalam ruang bakar yang terlebih dulu dipanaskan hingga suhu 600 derajat Celsius menggunakan batu bara bongkah, minyak tanah, atau energi listrik.Penyemprotan membuat bahan bakar ini terpecah menjadi bulir-bulir kecil. Air dan zat aditif yang terpapar panas menguap seketika menyisakan serpihan batu bara, yang kemudian terbakar dan memanaskan boiler.Pembakaran batu bara menghasilkan produk buang berupa abu yang relatif lebih bersih ketimbang jelaga yang dihasilkan minyak berat. Produk buang lain adalah uap air yang terlepas dari bulir-bulir kecil Aquabat. Sifat kedua limbah ini yang tak beracun membuat Aquabat dikategorikan sebagai bahan bakar ramah lingkungan.Hampir semua mesin boiler bisa menggunakan bahan bakar ini. Tentunya pemilik harus melakukan beberapa modifikasi mesin dengan mengganti pembakar bahan bakar minyak menjadi pembakar Aquabat. Modifikasi juga harus dilakukan dengan menambahkan wadah pembuangan abu sisa pembakaran.Menurut Datin, doktor lulusan Kobe University, ongkos modifikasi mesin tidak mahal sehingga bisa ditutup dalam waktu singkat. Di proyek percontohan pabrik tahu skala kecil di Bandung, hanya dibutuhkan waktu 35-45 hari agar biaya modifikasi bisa tertutup keuntungan penjualan.Sementara itu, pada mesin boiler yang dipakai sebagai pembangkit skala besar diperlukan waktu satu-dua tahun agar ongkos modifikasi bisa kembali dengan waktu pemasangan selama empat bulan.Tak hanya ramah lingkungan, Aquabat juga ramah di kantong. Bahan bakar ini dijual dengan harga Rp 1.500 per liter. Ini lebih murah dibanding harga bahan bakar pesaingnya, yaitu minyak berat, Rp 3.800 per liter.Tingginya nilai ekonomi ini bisa berpengaruh pada biaya konsumsi energi nasional. Selama ini industri di Jakarta dan kota-kota sekitarnya serta Lampung menghabiskan duit Rp 8,575 triliun per tahun untuk membeli minyak berat.Jika penggunaan bahan bakar dialihkan ke Aquabat, ongkos bahan bakar menjadi Rp 7.350 triliun atau terdapat penghematan Rp 1.225 triliun per tahun. "Jika peralihan bahan bakar dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, penghematan bisa mencapai Rp 2 triliun," ujar Datin.Bahan bakar baru bernama Aquabat ini sudah dijajakan ke beberapa pabrik. Mereka mengklaim harganya lebih murah Rp 2.300 ketimbang minyak berat yang harganya Rp 3.800 per liter."Pemilik pabrik mempertanyakan jaminan ketersediaan stok Aquabat dan stabilitas harga," kata Datin Fatia Umar, peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.Lembaga ini mengembangkan Aquabat, yang merupakan campuran batu bara dan air. Aspek regulasi masih menjadi kendala pengembangan bahan bakar alternatif asli Indonesia ini. Memang aneh, padahal Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara merupakan lembaga milik pemerintah.Belum adanya jaminan regulasi dari pemerintah membuat peneliti dan pengguna Aquabat masih meraba dalam gelap. Namun kondisi ini tak menyurutkan langkah lebih lanjut.Saat ini Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara itu mengembangkan peralatan pembuatan Aquabat berkapasitas 4 ton per hari di Palimanan, Jawa Barat.Proyek kecil-kecilan ini lebih banyak ditujukan sebagai laboratorium. Selebihnya, hasil produksinya dipakai untuk eksperimen pada beberapa industri kecil, seperti pabrik tahu.Dalam waktu dekat, pabrik Aquabat berkapasitas 10 ribu ton per tahun akan dibangun di sentra industri Karawang. Pabrik ini dibangun atas kerja sama dengan organisasi pemerintah Jepang bernama NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)."Pabrik baru ini berbentuk demo plant, satu tahap sebelum pabrik komersial," ujar Datin. Hasil produksi pabrik Karawang diharapkan bisa dimanfaatkan oleh perusahaan penghasil bubur kertas yang beraktivitas di sentra industri. (Sumber : Tempo)

Bagikan Ini!