Mengintip Produksi Pakan Ternak dari Limbah Teritip di PLTU Tanjung Jati B

Rabu, 1 Juli 2020 - Dibaca 1222 kali

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS

NOMOR: 227.Pers/04/SJI/2020

Tanggal: 1 Juli 2020

Mengintip Produksi Pakan Ternak dari Limbah Teritip di PLTU Tanjung Jati B


Teritip tak asing bagi warga pesisir pantai. Hewan yang berkerabat dengan kepiting dan udang ini sering ditemukan di perairan dangkal. Teksturnya keras seperti cangkang moluska, hidup menempel pada substrat seperti batu, besi, dasar perahu, lunas-lunas kapal, hingga pipa saluran sistem pendingin pembangkit tenaga listrik dan benda-benda lain yang terendam di dalam air laut sepanjang perairan pantai.

Teritip ini juga banyak ditemui pada sistem pendingin PLTU Tanjung Jati B yang merupakan salah satu pembangkit terbesar di Indonesia. Setiap tahunnya tak kurang 350 ton teritip terendapkan sebagai limbah intake dari sistem pendingin tersebut. Bila dulu limbah teritip ini hanya ditimbun di area kosong area PLTU, kini teritip dimanfaatkan sebagai pakan ternak ayam di desa Ring 1 PLTU Tanjung Jati B.

"Kami memanfaatkan bioaktivator untuk peuyeumisasi limbah intake yang didominasi terintip, sehingga baunya berkurang drastis dan diproses menjadi serbuk kerang yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak ayam petelur di desa Ring 1 PLTU Tanjung Jati B," ujar Eko Ahadyat, PJ OPK3 PLN UIK TJB kepada tim esdm.go.id, Selasa (30/6).

Menurut Eko, nutrisi bawaan yang dimiliki teritip menjadikan suplemen pakan ternak lebih berkualitas sekaligus menambah kuantitas telur yang dihasilkan, sehingga memberikan keuntungan secara finansial bagi masyarakat sekitar. "Kandungan protein tinggi teritip mampu meningkatkan jumlah produksi telur ayam hingga 20 persen, ukuran telur pun jadi lebih besar, juga mengurangi biaya pakan ternak cukup signifikan," ungkapnya.

Eko menambahkan, biaya produksi serbuk kerang ini juga jauh lebih murah dibanding potensi sewa lahan untuk penimbunan limbah intake. "Bioaktivatornya seharga Rp 8 juta untuk pemakaian satu bulan pertama, selanjutnya kami kultur sendiri, jadi tidak ada biaya tambahan setelahnya. Kalau sewa lahan per hektarnya bisa sampai Rp 30 juta per hektar setahun hingga Rp 360 juta," jelas Eko.

Tak hanya itu, ia juga menyampaikan bahwa program ini juga berpotensi menghindarkan konflik dengan masyarakat di masa depan. "Karena komposisinya adalah jasad hewan laut yang mudah membusuk limbah intake memiliki karakteristik bau yang sangat kuat, nah dengan program ini akan menghilangkan potensi keluhan masyarakat akibat bau dan penyakit yang ditimbulkan dari penimbunan limbah intake kami," tandas Eko. (KO)


Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama

Agung Pribadi (08112213555)

Bagikan Ini!