Penandatanganan PJBG, Penerimaan Negara Bertambah Rp 67,5 Triliun

Selasa, 8 Mei 2012 - Dibaca 2104 kali

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik dan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), siang ini, Selasa (8/5/2012) menyaksikan penandatanganan beberapa kontrak perjanjian jual beli gas (beberapa diantaranya merupakan amandemen) di kantor BPMIGAS Jakarta.

Dalam sambutannya, Menteri ESDM menghimbau untuk terus mendorong pemanfaatan gas dari sisi hulu, mengingat saat ini konversi BBM ke BBG tengah massif dilakukan. "Jangan terus berbicara soal minyak, namun kita harus segera meninggalkannya dan beralih ke gas yang lebih murah dan masih banyak tersedia di negeri ini," kata Jero Wacik.

Melalui penandatanganan hari ini, penerimaan negara dari sektor gas bumi berpotensi bertambah US$ 7,5 miliar atau sekitar Rp 67,5 triliun. "Untuk tahun ini saja, penerimaan negara dipastikan bertambah Rp 6 triliun (US$ 665 juta)," kata Kepala BP Migas, R. Priyono, dalam sambutannya.

Priyono menjelaskan, penandatanganan perjanjian ini menjadi tonggak awal perubahan di industri gas bumi yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan pasar domestik untuk membeli gas bumi dengan harga yang lebih tinggi. Terdapat peningkatan harga gas yang cukup signifikan dibandingkan harga sebelumnya.

Sebagai contoh, lanjutnya, harga gas dari lapangan Grissik, Blok Corridor dengan operator ConocoPhillips yang dipasok ke PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), naik dari US$ 1,85 per juta British thermal unit (mmBtu) menjadi US$ 5,6 per mmBtu. Dalam kontrak menyebutkan, harga ini akan terus naik bertahap hingga menjadi US$ 6,5 per mmBtu pada 2014.

Begitu pula dengan kontrak gas Pertamina EP Region Sumatera Selatan ke PGN, yang naik dari US$2,2 per mmBtu menjadi US$5,5 per mmBtu. Kedua pihak sepakat, harga ini akan meningkat lagi menjadi US$6 per mmBtu pada 2013.

"Kondisi ini menunjukkan sebagian pasar domestik telah memiliki kemampuan untuk membeli gas dengan harga keekonomian," kata Priyono.

Dia mengungkapkan, untuk mengurangi disparitas harga gas domestik dan ekspor, pemerintah menugaskan BP Migas untuk merenegosiasi harga dengan para pembeli domestik. Tujuannya, meningkatkan gairah kontraktor kontrak kerja sama (KKS) dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi, sekaligus dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor gas.

Menurut dia, harga gas sebelumnya tidak mendorong peningkatan kegiatan hulu migas di Tanah Air. Dalam jangka panjang, hal itu akan merugikan Indonesia karena menyebabkan banyak lapangan gas yang tidak dikembangkan."Paradigma baru ini akan menjamin ketersediaan pasokan gas domestik yang berkesinambungan di masa yang akan datang," kata Priyono.

Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas, BP Migas, Gde Pradnyana, menambahkan, ke depan akan semakin banyak proyek yang memproduksi gas dengan skala besar, seperti proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) dan Muara Bakau di Selat Makassar.

Selain itu, terdapat proyek lapangan Abadi, Blok Masela, di Maluku Tenggara Barat, pengembangan Tangguh Extension di Papua Barat, serta proyek Natuna Timur di Kepulauan Riau.

Khusus pengembangan proyek IDD, menandai dimulainya era pengembangan gas di laut dalam dengan kedalaman lebih dari 1.000 meter di Indonesia. Pengembangan seluruh proyek tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengingat lokasinya terletak di daerah frontier dan laut dalam. Harga keekonomian gas pun dipastikan akan lebih tinggi.

"Dengan meningkatnya daya beli, produksi gas dari proyek-proyek itu semakin terbuka untuk memenuhi pangsa pasar domestik," kata Gde. (KO)

Bagikan Ini!