Peringati 140 Tahun Letusan G. Krakatau, Mitigasi Bencana Geologi Sebuah Keharusan

Minggu, 27 Agustus 2023 - Dibaca 4235 kali

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS

NOMOR: 400.Pers/04/SJI/2023

Tanggal: 27 Agustus 2023

Peringati 140 Tahun Letusan G. Krakatau, Mitigasi Bencana Geologi Sebuah Keharusan

27 Agustus 1883 pukul 10.20 WIB terdengar bunyi ledakan yang sangat keras, ledakan terkeras yang pernah didengar manusia hingga kini, ledakan yang terdengar hingga 4.600 km dari pusat letusan bahkan terdengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu. Gunung Krakatau mengeluarkan energinya tepat 140 tahun yang lalu.

Pada hari itu dunia memang bagai meledak, sebab energi letusan Krakatau 26-27 Agustus 1883 itu setara dengan sekitar 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Simon Winchester, geolog Inggris seorang jurnalis yang juga penulis dalam bukunya terkenal Krakatoa: The Day The World Exploded 27th August 1883 (Winchester, 2003) menuliskan, hari itu dunia bagai meledak, bunyi ledakannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk Bumi saat itu.

Winchester menggali dokumen-dokumen lama di Batavia, dan ia menemukan bahwa sebelum erupsi, terjadi sejumlah gejala alam yang tak biasa yakni, perilaku hewan berubah, kuda-kuda mengamuk, gajah sirkus gelisah, ayam tidak bertelur, kera dan burung tak nampak lagi di pepohonan.

Ledakan Gunung Krakatau tercatat dalam The Guiness Book of Records sebagai ledakan paling hebat yang terekam dalam Sejarah. Ledakan Gunung Krakatau bersama ledakan Gunung Tambora (1815) mencatatkan nilai indeks ledakan volkanik (Volcanic Explosivity Index - VEI) terbesar dalam sejarah modern.

Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan abu vulkaniknya mencapai ketinggian 80 km dan mengganggu pencahayaan dan pemanasan bumi dari matahari beberapa waktu. Batu-batu pijar yang dilontarkannya seketika menjadi batu-batuapung dan jatuh di mana-mana di antara Pulau Jawa dan Sumatra lalu hanyut terbawa arus laut ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia hingga ke Selandia Baru.

Ledakan tersebut, menghancurkan habis Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan, dua gunung di kompleks Krakatau serta sebagian Gunung Rakata yang setengah kerucutnya lenyap. Ledakan ini telah membuat cekungan kaldera di bawah laut Selat Sunda selebar 7 km dan sedalam 250 meter.

Material ledakan yang dihempaskan dan jatuh ke laut juga sebagian tubuh gunung yang runtuh longsor ke dalam laut telah memicu terjadinya gelombang tsunami setinggi 40 meter dan menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pantai hingga ke Batavia dan Cilamaya di Karawang.

Tercatat jumlah korban yang tewas akibat gelombang tsunami tersebut mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung di sekitar Selat Sunda.

Orang-orang di Batavia lari dan naik ke tiang lampu di wilayah Pasar Ikan, Jakarta Utara sekarang. Sebelumnya lampu-lampu berisi gas itu pecah berantakan dihempas gelombang bunyi ledakan. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer, tulis Simon Winchester (2003) bukunya yang menggambarkan kedahsyatan tsunami yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Krakatau.

Gunung Krakatau masih ada, anaknya yang lahir 1927 saat ini masih terus aktif meletus-letus, dan 5 tahun yang lalu ia meruntuhkan sebagian tubuhnya, longsor ke dalam laut, dan menimbulkan tsunami ke pantai Banten dan Lampung merenggut sekitar 450 korban tewas. Dari kejadian letusan Gunung Krakatau kita belajar bahwa manusia hidup di atas Bumi yang aktif.

Gunung Krakatau Purba

Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.

Letusan Krakatau Purba, diperkirakan pada tahun 535 Masehi, mungkin dapat ditafsirkan dari kitab pedalangan Pustaka Raja Purwa yang isinya antara lain menyatakan

"... ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra"

Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks disebut Gunung Batuwara. Menurut Pustaka Raja Purwa, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.

Akibat ledakan yang hebat itu, tiga per empat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang (Rakata Kecil) dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya tahun kegelapan di muka bumi. Wabah sampar terjadi karena suhu bumi menurun. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.

Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arab Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-30 Tahun.

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.(Awang Satyana/SF)

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama

Agung Pribadi (08112213555)

Bagikan Ini!