PNT Untuk Ketahanan Energi Dan Penerimaan Negara
KENDARI - Peningkatan nilai tambah hasil pertambangan berdasarkan Undang-undang no. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara wajib dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah berlakunya UU tersebut. Peningkatan nilai tambah diperlukan antara lain untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku domestik, peningkatan penerimaan negara dan ketahanan energi.Terkait dengan hal tersebut Pusat Data dan Informasi ESDM, Kementerian ESDM menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) selama 2 (dua) hari di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (22/6/2011). Tampak hadir dalam acara, perwakilan Tim Peningkatan Nilai Tambah (PNT) Puslitbang Tekmira, Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Perindustrian dan BAPEDA Daerah serta PT Antam.Kepala Bidang Kajian Strategis Pusdatin ESDM, Athena Falahti mewakili Kepala Pusat Data dan Informasi ESDM menyatakan, bahwa kegiatan FGD kali ini dilaksanakan dalam rangka mendukung kajian peningkatan nilai tambah produk-produk pertambangan yang merupakan amanah UU No 4 2009. "Perbedaan harga yang cukup signifikan dari bahan tambang dalam bentuk mentah dan dalam bentuk olahan, menjadi opportunities bagi industri-industri pertambangan meski dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala antara lain, keterbatasan infrastruktur energi dan transportasi. Dengan dilaksanakannya FGD ini diharapkan dapat menggali informasi mengenai optimalisasi upaya peningkatan nilai tambah," ujarnya.PNT merupakan implementasi dari UU No. 4 Tahun 2009 pasal 103 ayat (1) yang menyatakan, pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Peningkatan nilai tambah tersebut selambat-lambatnya sudah harus diterapkan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU ini diundangkan sebagimana tercantum pada pasal 170 menyatakan Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) tersebut.Kondisi pertambangan di Indonesia secara umum masih berorientasi kepada ekspor bahan mentah (raw, ore, concentrate) sedangkan peningkatan nilai tambah (pengolahan) masih terbatas pada mineral unggulan dan dilakukan oleh perusahaan besar. "Indonesia dengan keunggulan komparatifnya masih dianggap sebagai "mining country" dan banyak impor bahan 1/2 jadi hasil tambang untuk feed industri (Al, Fe, mineral industri). Kontribusi pertambangan terhadap negara cukup signifikan karena itu diperlukan upaya peningkatan nilai tambah hasil pertambangan (PNTP)", ujar anggota Tim PNT Tekmira, Tendi Rustendi.PNT juga diperlukan untuk mengoptimalkan konservasi sumber daya dan batubara, memenuhi kebutuhan bahan baku industri domestik serta memberikan dampak positif bagi perekonomian yang menghasilkan efek berantai signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik yang pada akhirnya memicu pengembangan sektor hilir (industri) dan implementasi dari UU No. 4 Tahun 2009, lanjutnya.Sepertii halnya Kepala Bidang Kajian Strategis, diakui Tendi, penerapan PNT masih mengalami berbagai kendala-kendala seperti, diperlukannya investasi yang besar dan terbatasnya infrastruktur kelistrikan dan transportasi. "Kinerja KP juga belum optimal, banyak KP-KP Tidur, kecil-kecil, overlap dengan sektor lain dan modal kecil," tuturnya.Ditambahkan Tendi, faktor penghambat peningkatan nilai tambah antara lain pola pikir (mind set) pengelolaan sumber daya, minimnya infrastruktur dan ketergantungan teknologi dan perdagangan internasional sedang faktor pendukungnya keberadaan sumber daya alam, kemauan politik, ketersediaan tenaga kerja, perkembangan industri pengguna dan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang terus tumbuh. "Inti dari peningkatan nilai tambah adalah optimalisasi nilai tambang, penyediaan bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan penerimaan negara," imbuh Tendi. (SF)
Bagikan Ini!