Program Nuklir Harus Lebih Pro Publik

Rabu, 30 Maret 2011 - Dibaca 4467 kali

JAKARTA -- Pemerintah saat ini sedang memutakhirkan Peraturan Presiden 05/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Pembahasan rancangan dan rumusannya tengah dilakukan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber pembangkit listrik (PLTN) merupakan salah satu program yang menjadi pembahasan dalam pemutakhiran KEN tersebut.

"Perkembangan PLTN di dunia, termasuk kejadian di Jepang, menjadi pelajaran penting untuk Indonesia. Program PLTN dibiayai oleh dana publik, maka kita harus menempatkan kepentingan publik pada prioritas tinggi", demikian diungkapkan Mukhtasor, Anggota DEN dari Unsur Pemangku Kepentingan/Pakar Lingkungan Hidup.

Penyiapan infrastruktur PLTN, mulai dari penyiapan SDM, penelitian dan pengembangan, penyiapan kelembagaan sampai dengan studi kelayakan dibiayai oleh pemerintah dengan dana publik dari APBN. Padahal pembangunan dan pengoperasian PLTN secara komersial menurut UU Ketenaganukliran dilaksanakan oleh BUMN, koperasi dan atau badan swasta.

Untuk lebih pro publik, menurut Guru Besar ITS ini, di antaranya ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu aspek keselamatan dan lingkungan, aspek partisipasi publik, dan aspek subsidi oleh publik.

"Sesungguhnya publik telah memberi subsidi yang besar terhadap program PLTN. Sangat penting bahwa program PLTN perlu melibatkan partisipasi publik yang lebih besar, terutama dalam aspek keselamatan dan penilaian kelayakan teknologi dan lokasi PLTN", Mukhtasor menegaskan.

Menurut pria yang kini juga sebagai Executive Director ICEES (Indonesian Center for Energy and Environmental Studies) ini, partisipasi publik tersebut diperlukan terutama dalam studi kelayakan pembangunan PLTN dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan.

"Pemerintah, dalam hal ini BATAN, perlu melibatkan lebih banyak ahli-ahli yang representatif dan obyektif di bidang sosial, keselamatan, bencana, dan lingkungan hidup. Jangan sampai terulang kejadian di Jepang dimana keakuratan dan keterbukaan informasi nuklir masih menjadi persoalan antara pemerintah dan operator PLTN. Layak ataupun tidak pembangunan PLTN di Indonesia nantinya, kita semua harus berbesar hati. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Jangan ada kepentingan lain yang tidak relevan, termasuk kepentingan yang lebih berfihak pada keuntungan bisnis daripada publik".

Di sisi lain, standar kelayakan PLTN juga perlu ditingkatkan dengan memperhatikan keandalan teknologi PLTN dan kerawanan bencana di Indonesia. Ketentuan perizinan reaktor diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43/2006. Berdasarkan aturan tersebut (pasal 4), reaktor nuklir komersial yang telah beroperasi 3 (tiga) tahun secara selamat dengan faktor kapasitas rerata minimal 75% digolongkan sebagai teknologi yang teruji. Karena itu ia dapat diberikan izin dibangun di Indonesia.

"Kecelakaan PLTN Jepang terjadi justru pada akhir umur desainnya. Bandingkan dengan kasus energi terbarukan. Dunia internasional saat ini telah berpengalaman mengoperasikan dengan sukses pembangkit listrik arus laut lebih dari 3 (tiga) tahun, dengan potensi bahaya minimal dan harga yang lebih murah daripada pembangkit berbahan bakar minyak. Itu saja masih tidak mudah masuk dan diterima di Indonesia. Ukuran teknologi teruji dalam pembangunan PLTN harus memberi jaminan keselamatan jauh lebih tinggi", katanya memberikan penekanan.

Dalam hal biaya PLTN, ada beban biaya tersembunyi yang harus ditanggung oleh publik. Di samping dana APBN untuk penyiapan infrastruktur dan studi kelayakan PLTN, ada konsekuensi biaya yang tidak tampak namun ditanggung oleh publik. Menurut Undang-undang Ketenaganukliran, pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggungjawab terhadap kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi karena bencana alam dengan tingkat luar biasa yang melampaui rancangan persayaratan keselamatan yang telah ditetapkan oleh BAPETEN.

"Jadi seumpama kasus Jepang ini terjadi di Indonesia, menurut hemat saya, kerugian kecelakaan nuklir ini akan ditanggung oleh dana publik. Ini tentu kurang mencerminkan istilah harga energi berdasarkan prinsip keenomian berkeadilan yang diatur dalam Undang-undang Energi." ujar Mukhtasor menegaskan.

Penulis :Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng. Ph.D. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari Unsur Pemangku Kepentingan/Pakar Lingkungan Hidup

Bagikan Ini!