Solusi Non-BBM untuk Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional melalui Revitalisasi Program Energi Laut Nasional

Kamis, 5 April 2012 - Dibaca 4038 kali

JAKARTA - Persoalan krisis bahan bakar minyak (BBM) dan besarnya anggaran subsidi energi pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) merupakan ancaman serius bagi ketahanan energi nasional, yaitu kondisi dinamis terjaminnya penyediaan energi dan akses masyarakat atas energi dalam menghadapai permasalahan dan tantangan dari dalam maupun dari luar negeri.

Dalam konteks penyediaan energi, ada dua solusi penting untuk persoalan ini. Pertama, intensifikasi ekplorasi cadangan minyak baru dan peningkatan produksi minyak nasional; dan kedua pengembangan energi alternatif dari jenis energi terbarukan, diantaranya tenaga air, panas bumi, bahan bakar nabati, energi biomassa, energi surya dan energi laut.

Energi terbarukan tersebut lebih sesuai dengan potensi lokal di tanah air, lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, dan relatif tidak tergantung dengan fluktuasi saham minyak dunia. Prakteknya, selama ini energi terbarukan tidak mendapatkan prioritas, tidak mendapatkan subsidi yang sepadan dengan subsidi BBM. Lebih jauh, meskipun BBM lebih mahal, nyatanya BBM tetap menjadi pilihan yang diandalkan dalam penyediaan listrik nasional oleh PLN. Gilirannya, kebutuhan subsidi energi makin membengkak karena impor BBM makin tinggi dan biaya produksi listrik makin mahal.

Hal tersebut diatas mendorong komunitas energi laut nasional menyelenggarakan Lokakarya Penguatan Regulasi dan Revitalisasi Energi Laut Nasional, hari ini 5 April 2012 di Hotel Karang Setra, Bandung. "Indonesia memiliki potensi energi laut secara praktis mencapai 49.000 MW, dari jenis energi arus laut, gelombang laut, dan panas laut. Sejak tahun 1980-an Indonesia telah mulai menyiapkan program energi laut ini. Studi kelayakan dan detil desain juga sudah dilaksanakan. Namun, oleh karena persoalan kerjasama luar negeri dan persoalan krisis ekonomi, program energi laut nasional tersebut telah lama mati suri sampai dengan saat ini", demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Mukhtasor, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dan Ketua Asosiasi Laut Indonesia (ASELI).

Lokakarya ini diselenggarakan oleh ASELI bekerjasama dengan Kementrian Riset dan Teknologi (Ristek), dan Kementrian Lingkungan Hidup (LH), dengan melibatkan Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) serta pemangku kepentingan energi laut dari para inovator teknologi, pelaku usaha, perguruan tinggi dan instansi terkait lainnya. "Lokakarya ini menekankan pada penguatan regulasi dalam rangka revitalisasi progrom energi laut. Tanpa revitalisasi program energi laut, bersama-sama dengan revitalisasi program energi terbarukan lainnya, saya yakin bahwa target-target penyediaan energi terbarukan hanya akan menjadi wacana dan omong kosong. Dan jika ini terjadi, masa depan keenergian Indonesia akan berbahaya, karena kita menghadapi ancaman krisis energi yang masih sangat tergantung dengan bahan bakar minyak", demikian penjelasan Mukhtasor yang juga sebagai Guru Besar Jurusan Teknik Kelautan ITS tersebut.

Program jangka pendek revitalisasi ini menekankan pada dua fokus utama, yaitu peningakatan kapasitas nasional dan implementasi proyek percontohan pembangkit listrik energi laut. Sedangkan dalam jangka panjang, revitalisasi ini diarahkan pada penguatan industri energi laut nasional dan eskalasi pemanfaatan energi laut secara luas di wilayah-wilayah Indonesia yang potensial. "Peningkatan kapasitas nasional dimulai dengan kegiatan pemetaan potensi, studi kelayakan dan pemilihan lokasi-lokasi yang potensial untuk pemanfaatan energi laut. Pemetaan tersebut haruslah memperhatikan potensi energi laut, tumpang tindih pemanfaatan ruang, kebutuhan energi di lokasi tersebut, serta kondisi lingkungan dan dukungan infrastruktur," demikian ditambahkan oleh Subaktian Lubis dari Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM yang menjadi salah satu nara sumber pada lokakarya tersebut.

Lokakarya tersebut merekomendasikan agar Kementerian dan Lembaga terkait segera menguatkan kapasitas di bidang energi laut, dimulai dengan penguatan sumberdaya manusia, penyusunan peta jalan pengembangan energi laut, penyusunan standar dan regulasi, serta penetapan harga energi laut (feed-in tariff) . "Tanpa penyiapan ini, dunia usaha energi laut sulit tumbuh karena tidak ada iklim kebijakan dan regulasi yang mendukung. Jika investor hendak mengajukan usaha, izin dan persyaratannya saja belum diketahui," demikian diungkapkan oleh Hadi Setiawan, salah satu pelaku usaha yang hadir dalam lokakarya tersebut.

Lebih jauh Mukhtasor menekankan, saat ini adalah momentum yang paling tepat bagi Pemerintah untuk melakukan revitalisasi program energi laut. Momentum lilitan persoalan fluktuasi dan kenaikan harga minyak dunia menjadikan energi laut semakin relevan dikembangkan di negara kelautan Indonesia ini. "Biaya investasi dan harga produksi listrik dari energi laut relatif bersaing dengan bahan bakar minyak, sangat cocok untuk wilayah-wilayah luar jawa yang listriknya bergantung pada pasokan pembangkit listrik berbahan bakar minyak. Biaya produksi listrik energi laut internasional bisa 15 sen USD per KWh, tergantung kapasitas pembangkit listrik yang dibangun. Ini jauh lebih murah dari listrik dari BBM" katanya.

Lokakarya tersebut menampilkan inovasi nasional dari para produsen pembangkit listrik dari tenaga gelombang laut, tenaga arus laut, dan juga dari produsen generator listrik putaran rendah yang cocok untuk mendukung konversi energi terbarukan. Persiapan instalasi pilot project pertama di Indonesia untuk pembangkit listrik arus laut berkapasitas 175 KW yang akan dipasang tahun ini di Nusa Tenggara Barat juga dimatangkan pada lokakarya ini. Komunitas energi laut nasional telah bergandeng tangan untuk mensukseskan revitalisasi program energi laut nasional ini.

"Daya ungkit utama untuk mempercepat tumbuhnya industri energi laut nasional adalah, Pemerintah segera membuat proyek percontohan skala relatif besar yang disambungkan ke jaringan listrik PLN. Misalnya, pembangkit listrik arus laut dan gelombang laut, masing-masing 1 MW, dan diikuti dalam jangka menengah pembangkit listrik panas laut atau OTECS berkapasitas 50 MW keatas. Akumulasi pengetahuan dan pengalaman nasional dalam lima tahun kedepan akan mengokohkan industri energi laut ini, dan akan membantu mengurangi ketergantungan pada minyak dan memperkuat ketahanan energi nasional. Apalagi, pemanfaatan energi laut ini merupakan indikator keberhasilan program pemerintah 2010-2014, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangaka Panjang Nasional (RPJPN)", Mukhtasor menekakan.(SF)

Bagikan Ini!