Wamen ESDM: Nuklir Komponen Penting dalam Transisi Energi
JAKARTA -- Pemerintah Indonesia berkomitmen berkontribusi pada upaya penanggulangan perubahan iklim global melalui serangkaian target pengurangan emisi, termasuk pencapaian Net Zero Emission (netralitas karbon) pada tahun 2060 atau lebih awal. Untuk mewujudkan hal tersebut optimalisasi pemanfaatan energi ramah lingkungan dinilai memegang peran strategis, termasuk nuklir.
"Energi nuklir merupakan komponen yang sangat diperlukan dalam transisi energi global. Kebutuhan ini mendorong strategi nasional kita, yang secara eksplisit berpusat pada pemanfaatan energi nuklir untuk menyeimbangkan bauran energi dan mencapai target dekarbonisasi," ujar Wakil Menteri ESDM Yuliot dalam sambutannya di acara The 10th Asia Nuclear Business Platform 2025 di Jakarta, Rabu (10/12).
Kementerian ESDM, kata Yuliot, telah mengadopsi sejumlah strategi utama untuk mempercepat transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Langkah-langkah tersebut meliputi pembakaran bersama biomassa, peralihan bahan bakar, peningkatan efisiensi, moratorium pembangunan PLTU batubara, serta pengembangan energi terbarukan, hidrogen hijau dan amonia, serta tenaga nuklir. Semua itu dilaksanakan bersamaan dengan penguatan infrastruktur transmisi, penerapan jaringan pintar, dan percepatan penghentian dini PLTU batubara.
"Rencana Induk Kelistrikan Nasional, dan Rencana Bisnis Penyediaan Listrik PLN tonggak pentingnya adalah transisi dimana dalam Peraturan Pemerintah No. 79/2014 ke No. 40/2025, telah secara eksplisit mewajibkan pemanfaatan energi nuklir untuk menyeimbangkan bauran energi dan mencapai target dekarbonisasi," tutur Yuliot.
Dalam konteks Asia Tenggara, energi nuklir kembali muncul sebagai opsi strategis. Dorongan komitmen net-zero dan kemajuan teknologi, termasuk pengembangan reaktor modular kecil (SMR) dan reaktor canggih lainnya membuat negara-negara kawasan semakin mempertimbangkan nuklir sebagai bagian dari solusi dekarbonisasi.
"Lima konsumen energi terbesar di kawasan ini Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang menyumbang 89% dari total permintaan, semuanya bergerak menuju penerapan nuklir, secara aktif mengeksplorasi opsi nuklir dan berkolaborasi melalui Jaringan Sub-Sektor Kerja Sama Energi Nuklir (NEC-SSN)," ujar Yuliot.
Kolaborasi tersebut difokuskan pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pertukaran informasi, serta pembentukan kerangka hukum dan regulasi untuk memastikan keselamatan, keamanan, dan perlindungan nuklir.
Kebijakan pengembangan tenaga nuklir di Indonesia didasarkan pada pergeseran strategis untuk menyeimbangkan bauran energi dan mendukung target dekarbonisasi jangka panjang. Di bawah Rencana Umum Energi Nasional (RUKN), pemerintah menetapkan target kapasitas nuklir sebesar 35 GW pada tahun 2060.
Implementasi awal akan dimulai dalam periode perencanaan RUPTL 2025-2034, dengan target penambahan kapasitas nuklir sebesar 0,5 GW (500 MW) sebagai bagian dari bauran energi nasional. "Kapasitas ini direncanakan akan dioperasikan mulai tahun 2032 dan 2033, dengan 250 MW dialokasikan untuk sistem tenaga listrik Sumatera dan 250 MW untuk Kalimantan," tutup Yuliot. (SF)
Bagikan Ini!