Deregulasi Ketenagalistrikan Dilakukan Untuk Efisiensi dan Keadilan

Sabtu, 6 Mei 2017 - Dibaca 3131 kali

Deregulasi di sub sektor ketenagalistrikan yang dilakukan Menteri ESDM Ignasius Jonan dimaksudkan agar terjadi efisiensi di bidang pembangkitan. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Andy Noorsaman Sommeng menegaskan hal tersebut pada pembukaan Seminar Nasional 2 Gatrik Jumat (5/5). Dalam acara yang digagas oleh KAGATRIK UI di kampus Universitas Indonesia Depok, Andy menyampaikan bahwa melalui deregulasi tersebut pemerintah terus mengupayakan efisiensi pembangkit listrik agar tarif listrik yang dibayar masyarakat tidak mahal. Andy juga menyampaikan bahwa pemerintah terus mengupayakan pelaksanaan subsidi listrik tepat sasaran kepada masyarakat.

Pada awal tahun 2017 ini Menteri ESDM telah menerbitkan beberapa peraturan menteri (Permen) ESDM di bidang ketenagalistrikan, diantaranya adalah permen ESDM Nomor 10,11,12,19 dan 24 tahun 2017. "Peraturan-peraturan ini diterbitkan guna menciptakan iklim investasi ketenagalistrikan yang lebih kondusif, mendorong usaha penyediaan tenaga listrik yang lebih efisien, andal, dan dengan harga yang wajar untuk mewujudkan energi berkeadilan," ungkap Andy. Peraturan-peraturan yang fokus pada aturan jual beli tenaga listrik ini dimaksudkan agar terdapat kesetaraan risiko aspek komersial antara PLN dan IPP untuk seluruh jenis pembangkit listrik.

Andy menjelaskan, sehubungan dengan deregulasi sektor ketenagalistrikan yang telah dilakukan pemerintah, terbuka peluang sektor swasta dalam usaha penyediaan maupun penunjang ketenagalistrikan. Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 4 Tahun 2016 yang direvisi dengan Perpres No. 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, diatur model kerja sama penyediaan tenaga listrik. "Kerja sama penyediaan tenaga listrik ini bisa dilakukan dengan skema pengembang pembangkit listrik atau joint venture dengan anak perusahaan PLN," jelas Andy.

Dijelaskan Andy, skema Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) dapat dilakukan dalam hal membutuhkan pendanaan yang sangat besar, risiko konstruksi yang cukup besar, risiko pasokan bahan bakar yang cukup tinggi atau yang belum mempunyai kepastian pasokan gas dan/atau infrastrukturnya. Skema ini juga digunakan untuk pembangkit dari sumber EBT, ekspansi dari pembangkit PPL yang telah ada, serta terdapat beberapa PPL yang akan mengembangkan pembangkit di suatu wilayah tertentu.

Sementara itu skema joint venture dengan anak perusahaan PLN, yang sahamnya dimiliki 51% oleh PLN, dapat dilakukan dengan apabila penyediaan pendanaan yang diperlukan PLN dan/atau memiliki ketersediaan energi yang akan digunakan oleh PLN. Skema ini digunakan untuk alih tehnologi, dan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Terkait persyaratan pendanaan untuk investasi ketenagalistrikan, Andy menjelaskan bahwa pelaku usaha dapat mengacu Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Di dalamnya terdapat prosentase pendanaan untuk dalam negeri dan asing untuk beberapa jenis pembangkit, transmisi, distribusi, maupun usaha jasa penunjang ketenagalistrikan.

Dalam sambutannya, Andy juga mengapresiasi seminar nasional yang digagas KAGATRIK UI dan EPES UI ini. "Semoga hasil dari seminar ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah untuk semakin menyempurnakan regulasi di bidang ketenagalistrikan, sekaligus meningkatkan investasi di sub sektor ketenagalistrikan," tutupnya. (PSJ)