3 Tahun Kinerja Sektor ESDM: Perundingan Pemerintah dengan Freeport Capai Kesepakatan Pokok

Rabu, 25 Oktober 2017 - Dibaca 1153 kali

Pemerintah dan PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mencapai kesepakatan pokok atas poin-poin perundingan pada 27 Agustus 2017. Kesepakatan dicapai melalui perundingan yang berat dan ketat dalam waktu 6 bulan, dimulai saat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PTFI diterbitkan pada bulan Februari 2017. Empat poin pokok kesepakatan tersebut, sebagai berikut:

1. Landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PTFI akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).

2. Divestasi saham PTFI sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari Pemerintah dan PTFI.

3. PTFI membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama 5 tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.

4. Stabilitas Penerimaan Negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PTFI.

Setelah PTFI menyepakati 4 poin tersebut di atas, maka PTFI bisa mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2x10 tahun dengan memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.

Hasil kesepakatan tersebut mengedepankan kepentingan nasional, kepentingan rakyat Papua, kedaulatan negara dalam sumber daya alam dan tetap menjaga iklim investasi yang kondusif, sesuai instruksi Presiden Joko Widodo.

Setelah pokok kesepakatan selesai, saat ini sedang berlangsung perundingan lanjutan membahas teknis dari masing-masing poin kesepakatan. Dalam perundingan teknis lanjutan tersebut, tugas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencakup pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian, landasan hukum pengusahaan, dan perpanjangan operasi. Saat ini ketiga hal tersebut telah selesai.

Isu terkait Freeport sesungguhnya telah bergulir sejak 3 tahun silam tepatnya bulan Januari 2014 yang merupakan batas waktu diperbolehkannya ekspor mineral sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Saat itu, diberikan relaksasi ekspor dengan persyaratan tertentu selama 3 tahun hingga Januari 2017.

Saat jatuh tempo kedua pada Januari 2017, keputusan Pemerintah lebih tegas, yaitu membuat Indonesia berdaulat dengan mewajibkan divestasi 51% saham Freeport sehingga kepemilikan Indonesia menjadi mayoritas. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial Papua, Freeport dapat melakukan ekspor maksimal dalam 5 tahun kedepan, dengan syarat sangat ketat yaitu mengubah kontrak karya menjadi IUPK, membayar bea keluar, wajib menyelesaikan smelter paling lambat 5 tahun dengan evaluasi progres tiap 6 bulan. Apabila progres tidak sesuai target maka rekomendasi ekspor dicabut. (AS)

Bagikan Ini!