Paradigma Baru Perencanaan Pascatambang

Sabtu, 29 Januari 2011 - Dibaca 5910 kali

Penutupan tambang/pascatambang (mine closure) telah menjadi isu dunia. Ini terbukti dari semaraknya penyelenggaraan konferensi internasional "Mine Closure 2010 (MC10)" pada 23-26 November 2010 lalu di Vina del Mar, Chile, negeri yang baru-baru ini menjadi sorotan dunia karena kisah keberhasilan penyelamatan 33 penambang yang terperangkap di tambang bawah tanah.

Konferensi penutupan tambang ini merupakan yang kelima kalinya diselenggarakan oleh The Australian Centre for Geomechanics and the Centre for Land Rehabilitation at the University of Western Australia dan direncanakan untuk tahun 2011 akan diselenggarakan di Alberta, Kanada. Tercatat sebanyak 64 makalah dari 18 negara disajikan dalam konferensi tersebut.

Salah satu paradigma perencanaan pascatambang yang mengemuka pada konferensi tersebut adalah Legacy-based Framework for Mine Closure yang berkembang dari perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) khususnya terhadap dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan proyek-proyek tambang. Dampak sosial dan lingkungan ini adalah legacy dari perusahaan tambang kepada masyarakat sekitar nantinya. Legacy ini yang akan ditinggalkan dan dirasakan oleh masyarakat sekitar sementara perusahaan akan angkat kaki dari daerah tersebut sembari mencari proyek baru di tempat lain.

Sebagai hasil dari pergeseran kultur bisnis ini, perencanaan pascatambang telah berevolusi menuju suatu titik dimana dimensi sosial dan lingkungan ikut terintegrasi ke dalamnya pada setiap tahapan mine-life cycle. Perencanaan pascatambang dimulai dari tahapan awal setiap proyek tambang dan saat ini dikenal sebagai bagian inheren dari desain konseptual tambang.

Bisnis ekstraksi sumberdaya didasari oleh efisiensi penggunaan dan konversi bahan galian dengan tujuan mengubah bahan galian menjadi komoditas. Tujuan utama dari perusahaan tambang adalah mengkapitalisasikan nilai bahan galian dalam rangka memaksimalkan return on investement (ROI). Namun, keberlanjutan dari bisnis pertambangan atau lebih khusus lagi perusahaan tambang, tidak hanya bergantung pada shareholder value tapi juga sangat bergantung pada reputasi perusahaan. Perencanaan pascatambang yang progresif telah menjadi isu utama dan jalan utama bagi perusahaan tambang untuk mempertahankan reputasi dan mendapatkan social licence to operate.

Memiliki reputasi yang baik akan mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan bagi perusahaan. Pertama adalah memiliki akses yang lebih mudah terhadap pembiayaan (access to financing). Pembiayaan proyek tambang secara ekuitas maupun leverage akan terbantu dengan reputasi yang baik. Kedua, reputasi yang baik juga akan membantu akses terhadap sumberdaya lainnya (access to resources), misal lahan dan air. Sedangkan manfaat ketiga adalah akses terhadap tenaga kerja (access to labour).

Sebagai penutup, pesan penting yang relevan bagi stakeholders pertambangan Indonesia adalah agar memandang rencana pascatambang dengan paradigma baru yaitu rencana pascatambang harus menjadi alat yang digunakan untuk meminimalisasi negative legacies dan memaksimalkan positive legacies. (JS)

Bagikan Ini!